Jumat, 28 November 2008

Presidensial Cita Rasa Parlementer

Presidensial Cita Rasa Parlementer
Jumat, 28 November 2008 | 01:03 WIB

Syamsuddin Haris

Perdebatan tentang sistem demokrasi presidensial yang diawali artikel Donny Gahral Ardian (Kompas, 17/11 dan 27/11), kemudian Denny Indrayana (Kompas, 26/11), dan secara tak langsung oleh Saldi Isra (Kompas, 27/11), menarik direspons. Mengapa presidensialisme yang diadopsi konstitusi hasil amandemen tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif?

Ahli perbandingan politik, seperti Juan J Linz (1994), mengingatkan, secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial sendiri.

Perangkap konflik

Skema presidensial lebih berisiko lagi jika dikombinasikan sistem multipartai ekstrem, seperti di Indonesia. Konsekuensi dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya ”presiden minoritas”—presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR—dan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, seperti berlangsung sejak era Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), lalu Presiden Yudhoyono. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai.

Pembentukan kabinet yang bersifat koalisi partai, baik pada era Wahid, Megawati, maupun Yudhoyono, pada dasarnya adalah upaya meminimalkan ”gangguan DPR” meski gagal pada era Wahid saat dimakzulkan MPR pada 2001. Perangkap situasi konflik juga muncul pada era Yudhoyono, tetapi tidak deadlock karena putra Pacitan ini mengefektifkan kembali mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian konflik. Namun, sikap kompromistis Presiden Yudhoyono tak hanya harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang cenderung politik-transaksional, tetapi juga berdampak pada tidak begitu efektifnya pemerintahan hasil Pemilu 2004. Mengapa demikian?

DPR ”heavy”

Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati ”murni”, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.

Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan ”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR” (DPR heavy).

Karena itu, koalisi partai dalam skema presidensial tidak pernah menjadi satu-satunya solusi untuk mengefektifkan pemerintahan, apalagi koalisi yang diadopsi dari skema parlementer itu bersifat semu dan tidak didasarkan platform politik atau konsensus minimum di antara partai yang berkoalisi. Maka, tidak mengherankan jika kita saksikan fenomena menarik saat partai-partai pendukung pemerintah justru menentang kebijakan pemerintah. Intensitas usul hak interpelasi dan hak angket DPR yang relatif tinggi pada era Yudhoyono menjelaskan kecenderungan itu.

Ada beberapa solusi lain.

Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian secara konsisten melalui mekanisme electoral threshold atau parliamentary threshold. Melalui sistem kepartaian sederhana diharapkan terbentuk partai mayoritas di DPR sehingga politik dagang sapi bisa dikurangi.

Kedua, menata ulang jadwal penyelenggaraan pemilu sehingga dukungan populer terhadap presiden berimbas pada dukungan elektoral terhadap partai-partai pengusung kandidat presiden di DPR.

Ketiga, mendesain format koalisi yang memungkinkan tegaknya disiplin partai-partai berikut klausul ganjaran dan hukuman bagi mereka jika mengingkari.

Keempat, mendesain UU Pemilu Presiden yang memungkinkan presiden dan wapres berasal dari partai yang sama sehingga potensi konflik terhindarkan.

Cita rasa parlementer

Di luar semua proposal itu, skema presidensial yang saat ini cenderung ”sarat DPR”, perlu dipikirkan ulang, apalagi tidak pernah serius diperdebatkan, termasuk oleh MPR yang melakukan amandemen konstitusi, mengapa presidensialisme yang cenderung berisiko menjadi pilihan kita? Wajarkah kita melembagakan trauma terhadap demokrasi parlementer hanya karena indoktrinasi militer dan Orde Baru bahwa seolah sistem parlementer rentan konflik dan instabilitas politik?

Jika tidak, desain presidensial dengan ”cita rasa” parlementer akan terus mewarnai relasi Presiden-DPR. Situasi konflik namun relatif stabil—karena tersedia mekanisme konsultasi—tetap berpeluang muncul, dengan risiko relasi keduanya bersifat transaksional dengan implikasi pemerintahan tidak efektif.

Pengecualian hanya berlaku jika, pertama, kepemimpinan presiden lebih efektif, tidak kompromistis, tidak ikut terperangkap skema parlementer. Pembentukan kabinet misalnya, tidak harus melibatkan banyak partai seperti sekarang.

Kedua, partai-partai tidak hanya berebut kursi dan memburu jabatan presiden, tetapi efektif memikirkan pengelolaan presidensial agar nasib rakyat dan bangsa lebih terurus.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar