Selasa, 10 Oktober 2017

NEGARA KESEJAHTERAAN

NEGARA KESEJAHTERAAN

Hadi Wahono
Secara sederhana negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan yang menitik beratkan pada mementingkan kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan dirasakan mulai dari rasa ketidak berdayaan masyarakat miskin, hingga berdampak buruk pada demokrasi, yang berupa mudahnya orang miskin menerima suap (menjual suaranya dalam pemilihan umum) akibat keterjepitan ekonomi, sebagaimana yang banyak disinyalir terjadi di Indonesia dalam beberapa kali pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Bahkan adanya rasa frustrasi orang miskin akan mudah disulut untuk melakukan tindakan-tindakan anarkhis, yang berakibat kontra produktif bagi perkembangan demokrasi.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, maka dikembangkan konsep negara kesejahteraan (welfare state), yang merupakan sistem kenegaraan yang mengupayakan untuk memperkecil jurang pemisah antara mereka yang kaya dengan yang miskin melalui berbagai usaha pelayanan kesejahteraan warganegaranya. Ada lima prinsip penting yang merupakan prinsip yang mendasari (dan sekaligus menjadi ciri) suatu sistem negara kesejahteraan, yang karena itu harus diupayakan untuk diwujudnyatakan oleh negara yang menganut system Negara kesejahteraan dalam rangka upayanya untuk mencapai tujuan mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warganegaranya. Yang pertama, cabang produksi yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Tujuan penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi kehidupan rakyat banyak adalah agar kebutuhan rakyat atas produksi barang yang bersangkutan dapat diperoleh oleh rakyat dengan harga yang terjangkau, tidak memberatkan kehidupan rakyat. Contoh cabang produksi yang penting bagi kepentingan rakyat paling tidak adalah listrik, gas dan minyak bumi, air bersih, dan angkutan umum murah.
Yang kedua, usaha-usaha swasta diluar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau oligopoli yang akan mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan kesejahteraan rakyat. Yang ketiga, negara terlibat langsung dalam usaha-usaha kesejaheraan rakyatnya, seperti secara langsung menyediakan berbagai bentuk pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan. Berbagai pelayanan tersebut, dengan berbagai sistem yang diterapkan, harus dapat dijangkau oleh semua orang tanpa kecuali. Tentu saja, jumlah jenis-jenis pelayanan yang harus disediakan oleh negara bergantung pada perkembangan kemampuan negara, tetapi kedua jenis pelayanan tersebut (kesehatan dan pendidikan) merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan. Disamping itu, negara juga menyediakan jaminan sosial dan jaminan hari tua bagi setiap warganegaranya. Bahkan, banyak pemikir dan praktek kenegaraan yang menganut sistem negara kesejahteraan memandang bahwa peran negara didalam memberikan pelayanan kesejahteraan warganegaranya harus meliputi kehidupan rakyat “sejak dari buaian hingga liang kubur” (from cradle to the grave). Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah, walaupun dalam sistem negara kesejahteraan selain cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara dan negara juga menyediakan berbagai pelayanan bagi kepentingan rakyatnya, terutama pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan, dan bisa jadi juga angkutan umum murah, penyediaan beras murah, pupuk murah, tetapi bersamaan dengan itu usaha-usaha swasta juga diperbolehkan. Karena itu,  dalam negara kesejahteraan, rakyat dapat memilih untuk memperoleh pelayanan dari pihak mana. Mereka yang mampu tidak dilarang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dari swasta yang mungkin biayanya sangat mahal, tetapi mereka pandang lebih baik. Yang keempat, mengembangkan sistem perpajakan progresif, yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak yang dalam prosentasenya juga semakin tinggi (membesar) bagi orang yang semakin kaya dan bagi usaha yang semakin besar. Dengan melalui sistem perpajakan dan sistem jaminan yang dikembangkan oleh negara, diharapkan perbedaan antara mereka yang kaya dan miskin didalam negara yang bersangkutan akan berkurang, dan orang miskin juga akan berkurang. Prinsip yang kelima, pembuatan kebijakan publik harus dilakukan secara demokratis. Ini artinya, negara kesejahteraan menganut sistem demokrasi didalam pengelolaan negaranya.
Namun demikian, karena dalam konsep negara kesejahteraan mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan rakyatnya, maka akibatnya, negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki sangat banyak segi kehidupan rakyat, mulai dari soal pendidikan, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, negara kesejahteraan akan menjadi negara raksasa dengan jumlah birokrat yang sangat banyak dan sekaligus menggurita, dimana tangan-tangannya yang tak terhitung jumlahnya memasuki banyak segi kehidupan masyarakat. Akibatnya timbul masalah pengendalian dan kontrol oleh rakyat.
Dalam hubungan dengan masalah pelaksanaan sistem demokrasi negara modern, permasalahannya akan semakin rumit dengan adanya kenyataan bahwa bekerjanya pemerintahan negara modern sudah sedemikian kompleks, sedemikian rumit dan berbelit-belit, yang melibatkan banyak bagian yang (khususnya dinegara-negara maju) dikelola oleh orang-orang profesional yang memiliki spesialisasi keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dibidangnya masing-masing. Permasalahan yang muncul sehubungan dengan meraksasanya, mengguritanya, dan semakin kompleksnya  cara kerja pemerintahan negara modern, pertanyaannya, apakah rakyat masih memiliki kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan pemerintah atau elit penguasa yang memegang kekuasaan pemerintahan? Banyak ahli yang meragukan kemampuan rakyat, bukan saja untuk terlibat didalam pemerintahan secara langsung atau mengendalikannya (dari jarak jauh), bahkan sudah sangat sulit untuk hanya sekedar memilih wakil, melakukan pengawasan atas bekerjanya pemerintah, dan melakukan penilaian atas apa yang telah dilakukan oleh wakil yang mereka pilih. Dalam keadaan demikian, nampaknya pernyataan rousseau mengenai kelemahan sistem demokrasi perwakilan di Inggris layak untuk dikutip disini dan tampaknya berlaku untuk semua sistem demokrasi negara modern:
Orang Inggris percaya bahwa mereka adalah orang-orang bebas; mereka sungguh-sungguh salah, karena mereka hanya bebas selama pemilihan anggota-anggota parlemen, dan didalam waktu diantara dua masa pemilihan tersebut, rakyat berada dalam perbudakan, mereka tak berarti apa-apa. Dalam masa pendek dari kebebasan mereka, orang-orang Inggris menggunakannya sedemikian rupa sehingga mereka memang patut untuk kehilangan kebebasan mereka (Rousseau, 1974: 79)
Kondisi ini merupakan dilema sulit bagi negara demokrasi modern yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfarestate). Membiarkan pasar bekerja sendiri dalam mengatur ekonomi dan masalah kesejahteraan rakyat akan bisa menimbulkan ketidak adilan sosial, yang akibatnya bukan hanya negara secara moral akan kehilangan keabsahannya, tetapi juga dapat menimbulkan pemberontakan dan anarkhi yang akan menghancurkan negara itu sendiri. Sementara itu, dalam hubungan dengan masalah pelaksanaan sistem demokrasi negara modern, dengan adanya kenyataan bahwa bekerjanya pemerintahan negara modern sudah sedemikian merambah pada banyak segi kehidupan manusia (rakyatnya) sehingga merupakan pemerintahan yang sangat besar, yang urusannya sedemikian kompleks, sedemikian rumit dan berbelit-belit, yang melibatkan banyak bagian yang membutuhkan pengelolan oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan khusus, oleh orang-orang profesional yang memiliki spesialisasi keahlian, pengetahuan dan ketrampilan dibidangnya masing-masing, maka layak dipertanyakan, apakah sistem demokrasi yang secara harafiahnya berarti pemerintahan rakyat, masih merupakan sistem yang feasible untuk dipraktekkan, terutama di Negara demokrasi yang menganut system Negara kesejahteraan? Mengembangkan pemerintahan yang ruang lingkup pekerjaannya mencakup wilayah luas yang meliputi sangat amat banyak segi kehidupan rakyat apakah tidak berarti akan semakin menyulitkan bekerjanya sistem demokrasi?  bahkan dalam negara demikian, layak diragukan apakah demokrasi sesungguhnya masih ada? Tampaknya, membangun keseimbangan antara peran negara dalam membangun kesejahteraan rakyat dan kesempatan rakyat untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan negara merupakan masalah mendesak bagi masyarakat demokrasi modern.
Ada dua alasan untuk mempertahankan dan mengembangkan sistem negara kesejahteraan (welfarestate), yang merupakan negara yang ikut campur tangan dalam urusan kesejahteraan rakyatnya, tetapi yang sekaligus tetap mempertahankan sistem demokrasi semaksimal mungkin. Yang pertama, walaupun perkembangan negara kesejahteraan atau paling tidak terlibatnya negara didalam berbagai segi kehidupan masyarakat berakibat semakin membesarnya pemerintahan (dan birokrasi) negara dan semakin kompleksnya urusan pemerintahan, yang bisa mengakibatkan keterlibatan rakyat didalam pemerintahan akan semakin mengalami kesulitan (bahkan untuk mengawasi berjalannya pemerintahan atau memilih wakil mereka yang akan duduk diparlemen sekalipun, tak lepas dari banyak kesulitan), tetapi kenyataan semakin meluasnya urusan pemerintah dalam negara-negara modern tampaknya tidak terhindarkan lagi. Pemerintahan negara modern memasuki sebagian besar kehidupan masyarakat, mulai dari masalah Internasional, masalah nuklir, pertahanan keamanan, kesejahteraan hingga mengurusi apakah anda telah mengasuh anak anda dengan benar atau belum.
Dalam masyarakat massal yang baru, peranan pemerintah – yang merupakan sekumpulan lembaga yang memegang monopoli penggunaan kekuatan terorganisir untuk urusan-urusan dalam dan luar negeri – terpaksa berobah. Negara selaku masyarakat politik yang terorganisir memerlukan suatu tingkat kestabilan tertentu dalam system sosialnya untuk mempertahankan keseimbangannya. Untuk mencapai hal ini, tidak hanya diperlukan penyesuaian satu sama lain dari tuntutan-tuntutan yang berlawanan, yang dimajukan oleh bermacam-macam kelompok dalam tata social  dan tata ekonomi yang baru, tetapi juga diperlukan penciptaan secara terarah dari kondisi-kondisi kesejahteraan social yang dituntut oleh doktrin persamaan yang baru. Dengan demikian pemerintah sebagai alat negara, makin lama makin dipaksa untuk menerima tanggung-jawab positif atas penciptaan dan distribusi kekayaan. Dengan cara demikian, pemerintah hampir diseluruh dunia, telah menjadi pemerintah besar, baik dalam ruang lingkupnya, maupun dalam jumlah pegawai yang diperlukan untuk mengembangkan tanggung jawabnya Namun demikian, bersamaan dengan meningkatnya jumlah pegawai negeri, berarti juga semakin meningkatnya jumlah orang (para pegawai tersebut) yang dapat menjadi korban penekanan sesuatu rezim yang bersifat sewenang-wenang (Gwendolen M. Carter dalam: Miriam Budiardjo, 1982: 78 – 79).
Di Amerika Serikat, dimana gagasan bahwa pemerintah seharusnya hanya merupakan wasit yang menerapkan aturan-aturan diantara kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya yang saling bersaing, pendukungnya lebih banyak daripada di Inggris dan perancis – merekapun ternyata menyetujui adanya aktivitas-aktivitas pemerintah seperti TVA, pengawasan kredit, ataupun campur tangan langsung dari pemerintah untuk mengatasi soal-soal modernisasi seperti fasilitas dan pengangkutan di daerah perkotaan yang luas dan untuk menyingkirkan apa yang disebut kemiskinan ditengah-tengah kemakmuran. (Miriam Budiardjo, 1982: 75 – 76).
Pertumbuhan kearah pemerintahan raksasa tersebut terus berlanjut seolah-olah tak dapat dihentikan, dan tak ada orang yang ingin untuk menghentikannya. Hal ini mulai berlangsung ketika Amerika Serikat telah berubah melalui perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi, pemerintah telah berubah sejalan dengan perubahan tersebut. Pemerintah telah meluas dan tumbuh menjadi lebih kompleks, pemerintah diminta untuk melaksanakan tugas yang semakin lama semakin banyak.
Pemerintah dapat mempengaruhi kehidupan pelajar atau warganegara yang lain dengan mengirim mereka keluar negeri untuk berperang, atau melancarkan serangan nuklir, dimana mereka mungkin akan terbunuh. Yang kurang jelas, mungkin, adalah cara dimana pemerintah memasuki banyak segi kehidupan keseharian, yang kadang-kadang hingga detail pada yang pernik-pernik. Sebagai contoh, pemerintah federal mengatur jumlah (luasan) yang harus dicakup oleh kipas kaca mobil (wiper) dan bahkan kecepatan dari kipas kaca tersebut (dalam kondisi cepat, kipas kaca harus berjalan dengan kecepatan paling tidak 45 putaran per-menit) (Cummings and Wise, 1985: 9).
Perkembangan demikian merupakan perkembangan masyarakat modern. Seabad yang lalu, pemerintahan federal tidak menyediakan jaminan sosial, asuransi kesehatan untuk berjuta-juta warganegaranya, bantuan yang luas pada lembaga pendidikan negeri maupun swasta, atau bermilyar-milyar dolar untuk pembiayaan kesejahteraan. Juga tak ada satupun lembaga yang diatur secara independen untuk mengamati berbagai-bagai golongan ekonomi dalam masyarakat.
Ketika masyarakat Amerika telah tumbuh semakin kompleks, ketika penduduk telah meningkat, tugas pengelolaan pemerintahan nasional telah membesar. Rakyat menuntut pelayanan yang lebih dan dalam prosesnya pemerintah tumbuh semakin besar. Lima kementerian departemen – Perumahan dan Pembangunan Perkotaan; Tranportasi; Energi; Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat; dan Pendidikan – baru dibentuk sejak tahun 1950-an.
Kekuasaan untuk menarik pajak dan membelanjakannya untuk kesejahteraan umum merupakan fungsi dari pemerintahan nasional yang telah meluas dengan sangat luar biasa pada abad keduapuluh. Peran pemerintah didalam masalah perdagangan antar negara bagian dan luar negeri juga telah meningkat secara luas.
Kebanyakan dari pertumbuhan pemerintahan besar dan program kesejahteraan sosial federal berlangsung selama “New Deal” dalam tahun 1930-an dan selama program “Great Society” dari presiden Lyndon Johnson dalam tahun 1960. Walaupun kalangan konservatif secara periodik menyerang program-program tersebut sebagai “merangkak kearah sosialisme,” program-program besar sedemikian jauh terus dibentuk sehingga tak ada pemerintahan di Washington yang mungkin akan mampu untuk menghapuskannya.
Namun demikian, presiden reagan yang mulai menduduki jabatan pada tahun 1981 bersikeras untuk melakukan hal itu. Ia bersikeras untuk melakukan pemotongan yang berarti pada pengeluaran federal didalam bidang kesejahteraan sosial. Dia telah mengulangi dengan berjanji untuk melakukan hal itu didalam kampanyenya untuk menduduki kursi kepresidenan yang kedua kalinya.
Sebagaimana diketahui, Ronald Reagan terpilih sebagai presiden untuk pertama kalinya pada tahun 1980 berdasarkan janjinya untuk mengurangi jangkauan dan ruang lingkup pemerintah federal dalam kehidupan keseharian rakyat Amerika Serikat, bersamaan dengan itu akan meningkatkan kekuatan militer Amerika Serikat dan memotong pajak.
Dalam masa empat tahun pertama Reagan menjadi presiden, program kesejahteraan telah dipotong, bersamaan dengan pajak penghasilan; dan anggaran pertahanan telah meningkat. Tetapi prosentase dan jumlah orang yang hidup didalam kemiskinan juga telah meningkat, dan anehnya anggaran federal telah meningkat pada tingkatan yang belum pernah terjadi
Didalam pidato pelantikannya sebagai presiden yang kedua pada bulan Januari tahun 1985, Ronald Reagan menekankan tema yang sudah sangat dikenal yang membantu mengembalikannya dan partainya ke gedung putih:
“ ............ ini akan menjadi tahun dimana Amerika telah memperbaiki percaya dirinya dan tradisi kemajuannya; ketika nilai keyakinan, keluarga, kerja, dan lingkungan masyarakat diungkapnyatakan kembali untuk masa modern; ketika ekonomi kita pada akhirnya dibebaskan dari genggaman pemerintah (Cummings and Wise, 1985: 3).
Didalam tahun 1984, beberapa pendukung Reagan melihat kemenangan pemilihannya yang sangat besar sebagai sebuah mandat untuk melaksanakan kebijakan konservatifnya, sementara analis yang lain menterjemahkan kembalinya kegedung putih lebih sebagai pencerminan dari popularitas pribadi Reagan (Cummings and Wise, 1985: 7).
Pemerintahan Reagan telah menyatakan memotong bermilyar-milyar dolar untuk pengeluaran dalam negeri, dalam kesejahteraan sosial dan program-program pangan yang dirancang untuk membantu kaum miskin, maupun didalam cakupan yang luas dari program-program yang lain yang ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga berpenghasilan rendah, termasuk bantuan kesehatan (medicaid), subsidi perumahan, dan pinjaman bagi pelajar. Keseluruhan pemotongan pengeluaran ini dikenal secara populer sebagai “revolusi Reagan.”
Tetapi seberapa besar pengurangan didalam pengeluaran dalam negeri? Pemerintah menyatakan bahwa mereka telah mengurangi program dalam negeri federal hingga 232 milyar dolar selama empat tahun, dibandingkan dengan pengeluaran yang diproyeksikan oleh pemerintahan Demokrat sebelumnya. Tetapi didalam perdebatan publik atas pemotongan anggaran, telah terjadi “kebingungan mengenai kepastian apa yang sesungguhnya telah dicapai.” Sebagian, hal ini disebabkan karena pengeluaran federal sesungguhnya meningkat didalam banyak program yang oleh pemerintahan Reagan dinyatakan telah dipotong. Dalam kebanyakan kasus, “pemotongan” merupakan pengurangan atas apa yang mungkin telah dikeluarkan. Namun demikian, program reagan telah mempunyai pengaruh yang dapat diukur mengenai pengeluaran pemerintah dan mengenai out-put dari sustem politik. Sebagaimana satu kajian telah menyatakan, “Ada satu hal yang tak dapat diragukan mengenai akibat penting dari kebijakan pemerintahan Reagan, yaitu: penghasilan di Amerika Serikat akan didistribusikan secara lebih tidak merata antara yang kaya dan yang miskin dibandingkan dengan sebelumnya.”
Peran pemerintah federal, khususnya dalam bidang program kesejahteraan sosial, kemungkinan akan berlanjut sebagai perdebatan di Amerika Serikat, sebagaimana yang terjadi pada kampanye pemilihan presiden pada tahun 1984. Walaupun pemerintahan tertentu mungkin mengurangi bagian dari roti yang dialokasikan untuk program-program sosial, tetapi roti itu sendiri – yaitu anggaran federal – tetap saja tumbuh terus. Kebanyakan orang Amerika masih cenderung untuk melihat pada pemerintah nasional untuk menyelesaikan berbagai permasalahan nasional. Pada akhirnya, tampaknya tak terhindarkan lagi, pemerintahan negara modern akan semakin tumbuh sebagai pemerintahan raksasa yang jangkauan wilayah kerjanya sedemikian luas dan cakupan ruang lingkup bidang kerjanya juga sangat luas sehingga menyerupai “Leviathan”-nya Thomas Hobbes, sebagai monster raksasa yang menakutkan, tetapi yang  sekaligus dibutuhkan.
Alasan yang kedua, dari pengalaman negara-negara demokratis yang mempraktekkan sistem negara kesejahteraan, pada kenyataannya, kondisi nyatanya tidak selalu harus seburuk itu. Pengalaman banyak negara-negara Eropa Barat yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfare state) menunjukkan kemampuan mereka untuk menjaga keseimbangan antara peran negara dalam bidang ekonomi yang sangat besar dengan demokrasi (walaupun bersifat elitis). Inggris misalnya, sejak masa pemerintahan Perdana Menteri Clement Ettlee dari partai buruh yang memenangkan pemilihan umum pada tahun 1945, menganut sistem negara kesejahteraan dengan manasionalisasi hampir semua alat produksi seperti transportasi, batu bara, listrik, dan air serta memberikan pelayanan sosial terutama dibidang kesehatan. Ternyata kebijakan yang sudah dilaksanakan oleh Perdana Menteri Clement Ettlee tersebut tidak pernah lagi dirobah oleh pengganti-penggantinya, dari manapun asal partai mereka, kecuali pada masa Perdana Menteri Margaret Thatcher, yang sebagai akibat resesi mengurangi beberapa program jaminan sosial dan menswastakan kembali beberapa industri.
Di Swedia, sejak partai sosialis berkuasa pada tahun 1932, usaha-usaha untuk menjamin kesejahteraan sosial warganegaranya yang dilakukan oleh negara terus berlangsung, bahkan di daratan Eropa dipandang sebagai negara kesejahteraan yang paling berhasil, yang memberikan pelayanan kesejahteraan bagi rakyatnya seolah-olah dari buaian hingga liang lahat (from cradle to the grave) (Miriam Dudiardjo, dalam: Budiardjo, Miriam, 1984: 15).
Dari pengalaman negara-negara Eropa Barat nampak bahwa dianutnya sistem negara kesejahteraan tidak berakibat terlalu buruk bagi demokrasi, walaupun demokrasi dalam pengertian harafiahnya, yaitu pemerintahan rakyat, mungkin harus dipandang sebagai bermakna “pemerintahan untuk rakyat.”
Dalam hubungan antara demokrasi dengan peran negara dalam bidang ekonomi, khususnya besarnya peran negara didalam mengatur ekonomi rakyat, dimana berbagai bidang usaha yang penting bagi kehidupan orang banyak di pegang oleh negara, dimana negara terlibat dengan sangat aktif dalam bidang kesejahteraan sosial rakyatnya, Charles Frankel, yang menyebut sistem tersebut sebagai sistem sosialis, memberikan sarannya:
Dinegara-negara itu sosialisme mungkin cocok dengan usaha untuk memelihara kebebasan-kebebasan yang fundamental, asal saja tetap ada sektor swasta yang besar di bidang ekonomi, asal saja profesi ahli hukum, ilmuwan, dan wartawan tetap terjaga otonominya, dan asal saja cita-cita akan persamaan hak tidak berubah menjadi cita-cita akan adanya keseragaman dalam selera dan kondisi.
Tetapi ini merupakan syarat-syarat yang besar, dan resikonya akan tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya hasrat akan makna. Akhirnya, menurut pendapat saya, obat pencegah untuk melawaan “godaan totliter” terletak pada apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah-pemerinah demokratis, konseratif, berhalauan tengah atau yang berorientasi pada aliran kiri, tentang dua hal berikut: pertama, memperkuat lembaga-lembaga sosial yang mengatur diri sendiri yang ada diluar pemerintahan; dan kedua menampilkan tujuan-tujuan bersama dan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam masyarakat liberal yang masih belum terpenuhi. Dan tidak satupun tugas ini menjadi tanggung jawab pemerintah semata-mata. Hal ini adalah tugas sektor swasta, terutama pemimpin-pemimpin agama dan golongan inelektual, jika mereka mampu melakukan tugas tersebut (Budiardjo, Miriam, Penyunting, 1984: 29 - 30).

Indonesia Menganut Sistem Negara Kesejahteraan?

Kalau kita mempelajari bunyi pembukaan UUD 1945 khususnya yang menyangkut masalah tujuan negara Indonesia, pada intinya dapat dirumuskan sebagai “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan yang dimuat didalam pembukaan tersebut kemudian didalam batang tubuh UUD 1945 dituangkan dalam berbagai ketentuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Berbagai ketentuan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat terdapat didalam pasal-pasal 27 ayat (2), 31, 32, 33, dan 34. Pasal 27 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pasal 31 menentukan bahwa tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran. Sementara itu, pasal 32 menentukan mengenai tugas pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional, dan pasal 34 menentukan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Sedang pasal 33 mengatur mengenai masalah ekonomi, yang menganut sistem kekeluargaan, dan menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi rakyat dan bumi dan air, dan kekayaan alam yang ada diatasnya dikuasai oleh negara.
Setelah amandemen atas UUD 1945, khususnya dengan amandemen kedua, pasal-pasal mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat ditambah, yaitu dengan pasal 28H yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai mansusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Yang menjadi pertanyaan dari adanya berbagai pengaturan masalah kesejahteraan rakyat tersebut, bahkan yang oleh UUD dicanangkan sebagai tujuan didirikannya negara Republik Indonesia adalah, apakah berarti bahwa Indonesia menganut sistem negara kesejahteraan? Untuk menilai apakah Indonesia menganut prinsip negara kesejahteraan, bisa dinilai berdasarkan kelima prinsip negara kesejahteraan sebagaimana yang telah diuraikan diatas sebagai acuan. Sekedar mengulang, kelima prinsip tersebut meliputi ketentuan bahwa cabang produksi yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; usaha-usaha swasta diluar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau oligopoli yang akan mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan kesejahteraan rakyat; negara terlibat langsung dalam usaha-usaha kesejaheraan rakyatnya, seperti secara langsung menyediakan berbagai bentuk pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, menyediakan jaminan sosial dan jaminan hari tua bagi setiap warganegara, dan sebagainya; negara mengembangkan sistem perpajakan progresif, yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak yang dalam prosentasenya juga semakin tinggi (membesar) bagi orang yang semakin kaya dan bagi usaha yang semakin besar; dan yang kelima, pembuatan keputusan publik harus dilakukan secara demokratis.
Kalau dilihat dari sudut ketentuan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, walaupun masih ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki, dapat dikategorikan sebagai menganut sistem negara kesejahteraan. Tetapi dalam hal negara kesejahteraan, yang terpenting bukanlah bagaimana bunyi Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan. Selain ketentuan perundang-undangan, sebetulnya yang terpenting adalah bagaimana praktek kenegaraan negara yang bersangkutan, karena negara kesejahteraan bukan sekedar konsep kenegaraan, tetapi lebih merupakan prinsip yang harus diterapkan didalam praktek kenegaraan. Celakanya, praktek kenegaraan kita hingga saat ini sama sekali tidak mencerminkan prinsip negara kesejahteraan. Berbagai ketentuan didalam UUD sama sekali tidak pernah dilaksanakan. Bahkan ketentuan mengenai kesejahteraan rakyat dalam UUD 1945 yang telah berlaku selama lebih dari 50 tahun, tidak pernah dilaksanakan sama sekali. Kita masih menyaksikan banyaknya tunawisma yang berkeliaran dijalan-jalan tanpa ada bantuan dalam bentuk apapun dari negara, walaupun pasal 34 UUD menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Walaupun pengangguran terus meningkat, pemerintah tidak pernah menyediakan lapangan kerja yang menjadi kewajibannya, atau paling tidak menyediakan jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 28H, sehingga setiap warganegara Indonesia dapat hidup layak.
Hal ini bisa terjadi karena ketentuan yang dimaksudkan untuk menjabarkan dan mewujudkan kesejahteraan umum dan memajukan kecerdasan bangsa sebagaimana yang termuat didalam UUD RI tersebut dirumuskan dengan terlalu sederhana, dengan perumusan yang juga tidak memadai. Sebagai contoh, pasal-pasal tambahan tersebut dirumuskan seperti perumusan himbauan moral. Dari ketiga ayat tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan dan yang menyediakan pelayanan kesehatan bagi setiap orang? Siapa yang berkewajiban untuk menyediakan kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan? Siapa yang berkewajiban menyediakan jaminan sosial? Pernyataan berbagai hak tersebut tanpa kejelasan siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan hak tersebut sama saja dengan pernyataan kosong.
Mungkin orang bisa berdalih bahwa dalam UUD RI telah terdapat ketentuan dalam pasal 28I ayat (4) yang juga merupakan hasil amandemen kedua, yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Berdasarkan pasal 28I ayat (4) tersebut memang nampak bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak yang dirumuskan sebagai hak azasi didalam UUD menjadi tanggungjawab negara dan terutama pemerintah. Tetapi, tanpa ketentuan khusus yang mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang nyata untuk menegakkan dan mewujudkan berbagai hak yang telah disebutkan didalam UUD mengakibatkan perwujudannya akan tetap mengambang, masih bergantung pada suka atau tidak sukanya pemerintah.
Disamping pasal 28H tersebut, pasal-pasal lain yang bersangkutan dengan kewajiban pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat juga dirumuskan dengan sangat mengambang. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal-pasal 31 (mengenai pendidikan) dan 34 (mengenai jaminan sosial dan pelayanan kesehatan). Kalau pembentuk UUD bersungguh-sungguh ingin agar berbagai hak tersebut terwujud dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia, maka akan lebih nyata kalau perumusan hak tersebut disertai dengan perumusan “kewajiban” yang harus dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, sekali lagi sekedar sebagai sebuah contoh, ketiga pasal yang tidak jelas tersebut akan menjadi semakin jelas jika disertai dengan rumusan tambahan, misalnya:
Untuk mewujudkan hak-hak yang disebutkan didalam pasal 28H, pemerintah berkewajiban untuk:
1.     menyediakan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma kepada masyarakat yang kurang mampu.
2.     menyediakan jaminan sosial bagi masyarakat kurang mampu, sehingga memungkinkan setiap orang dapat hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat yang memungkinkan setiap orang mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
3.     mengembangkan sistem jaminan sosial sehingga setiap orang yang tidak mampu bisa mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dengan menyertai perumusan mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain yang dipandang berkewajiban mewujudkannya, maka rakyat dapat melakukan tuntutannya jika kewajiban tidak dilaksanakan. Tetapi, dengan rumusan yang dituangkan dalam kalimat positif semata-mata, rakyat tidak dapat menuntut pelaksanaan dan perlindungannya dari pemerintah.
Dengan perumusan yang tidak jelas tersebut, nampaknya perumus amandemen UUD RI masih setengah hati untuk mewujudkan hak-hak ekonomi rakyat dalam rangka menjamin kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat. Bahkan, bukan hanya pasal-pasal yang bersangkutan dengan jaminan kesejahteraan manusia saja, tetapi semua rumusan hak azasi manusia yang dituangkan didalam pasal-pasal UUD RI dirumuskan dalam kalimat positif tanpa tambahan ketentuan yang dikenai kewajiban, sehingga berbagai hak tersebut menjadi mengambang. Nampaknya penyusun rumusan amandemen UUD RI masih belum sepenuhnya ingin melindungi hak azasi manusia rakyat Indonesia dan tidak sepenuh hati didalam menganut prinsip negara kesejahteraan. Karena itu, Indonesia layak disebut sebagai negara kesejahteraan seolah-olah.
Daftar Pustaka

  1. Budiardjo, Prof. Miriam, editor, Masalah Kenegaraan, Gramedia, 1982.
  2. Budiarjo, Prof. Miriam, penyunting, Simposium Kapitalisme, Sosialisme,  Demokrasi, Pt. Gramedia, Jakarta, 1984.
  3. Cummings, Milto C. dan David Wise, Democracy Under Pressure, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 19854.
  4. Rousseau, The Essensial Rousseau, Penterjemah: Lowell Bair, The New American Library Inc, 1974.

Rabu, 07 Juni 2017

Peluang dan Tantangan Pelaksanaan UU Desa

UU No 6/2014 tentang Desa merupakan regulasi yang penting dalam upaya memajukan desa. UU Desa juga merupakan peluang bagi desa untuk menata ulang desa, memajukan dan memenuhi hak warga desa serta menjamin tata kelola pemerintahan yang berdaulat, mandiri dan demokratis. Tetapi tidak hanya sebagai peluang, UU Desa juga memiliki sejumlah tantangan misalnya soal kesiapan aparatur pemerintahan desa, lembaga-lembaga desa lainnya, serta warga masyarakat masing-masing desa untuk menjadi subyek pembangunan, kesiapan pemerintah kabupaten dan kecamatan dalam menyiapkan seperangkat aturan guna mendukung pelaksanaan UU Desa, mendampingi dan memfasilitasi desa serta mendorong keterlibatan kelompok marjinal dan kelompok rentan dalam tata kelola pemerintahan desa.
Demikian disampaikan oleh M. Zainal Anwar, peneliti dan manajer program governance and policy reform Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dalam workshop bertajuk “Integrasi Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Dalam Pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa” pada 2-5 Desember 2014 di Kabupaten Sumba Barat Daya. Kegiatan yang diselenggarakan oleh CD Bethesda ini diikuti oleh puluhan desa yang berada di Kecamatan Kodi Bangedo dan Kecamatan Kodi Utara.
M. Zainal Anwar juga mengatakan bahwa jika dipelajari lebih mendalam, UU Desa mendorong agar desa berdaulat, mandiri dan demokratis. Desa berdaulat, lanjut Zainal, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga pasal 5 dalam UU Desa yang menegaskan bahwa desa berkedudukan di wilayah kabupaten/kota. “Pasal 5 ini menegaskan bahwa desa tidak lagi sub ordinat kabupaten. Ditambah dengan asas rekognisi, maka semua pihak harus menghormati desa,” terang Zainal.
Sementara konsepsi desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian. Desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang oleh pasal 18-22 UU Desa yang menegaskan bahwa desa memiliki kewenangan lokal berskala desa. “Yang tidak kalah penting adalah bahwa dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes) menjadi satu-satunya dokumen perencanaan desa serta adanya hak keuangan dimana negara mengalokasikan sebagian APBN kepada desa dan sebagaian dana perimbangan yang diterima kabupaten sebagai alokasi dana desa,” imbuh Zainal.
Adapun desa demokratis berakar pada asas musyawarah, asas demokrasi, asas partisipasi, dan asas kesetaraan. “Hal paling fundamental adalah adanya musyawarah desa yang merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa,” kata Zainal.
Dalam sesi diskusi, beberapa kepala desa mengakui jika belum banyak memahami konsep desa dalam UU Desa. Walaupun sudah pernah mengikuti acara sosialisasi UU Desa yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah kabupaten, tetapi masih belum memahami secara detail terkait pembangunan desa ke depan. “Kami pernah mengikuti acara sosialisasi UU Desa, tetapi sayangnya tidak ada tindak lanjut yang konkrit pasca kegiatan sosialisasi UU Desa tersebut,” kata Stefanus Rangga Bola, Kepala desa Waitaru, Sumba Barat Daya. Stefanus juga menambahkan bahwa kegiatan sosialisasi tersebut hanya dilaksanakan setengah hari saja, “padahal, UU Desa memuat banyak hal,” lanjut Stefanus.
Zainal melanjutkan, ada empat strategi implementasi untuk mengoptimalkan pelaksanaan UU Desa ke depan. “Pertama, memperkuat pengetahuan warga dan kelembagaan lokal agar bisa mengontrol pemerintahan desa dari dalam. Kedua, reformulasi hubungan desa-kecamatan-kabupaten. Kecamatan dan Kabupaten harus memfasilitasi dan mensupervisi desa terutama melakukan capacity building  untuk SKPD yg mengurusi desa dan menyiapkan regulasi teknis lain. Ketiga, memperkuat jejaring antar desa/kerjasama antardesa dalam rangka pembangunan pedesaan. Keempat, pendampingan pemdes  dan warga desa oleh LSM, Perguruan tinggi dan Pemda,” kata Zainal.
 Sumber: https://www.ireyogya.org/tehnik-menulis-policy-paper/

Selasa, 28 Maret 2017

Bangsa yang Berkarakter adalah Bangsa yang Membaca

Oleh: Indy Hardono
KOMPAS.com
Pada zaman Hindia Belanda, para pelajar di Algemene Middelbare School (AMS) yang setara dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) sekarang diwajibkan untuk membaca. Siswa diminta melahap paling tidak 20 sampai 25 buku karya sastra selama tiga tahun masa studi mereka. Kegiatan membaca biasanya diikuti dengan menulis karangan setiap minggunya. Dapat dibayangkan banyaknya tulisan yang dihasillkan oleh setiap pelajar selama kurun waktu tiga tahun tersebut. Tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, dan Ali Sosroamidjoyo adalah produk pendidikan tersebut. Sejarah juga mencatat banyak buku dan tulisan dahsyat dari para tokoh itu yang kemudian mengubah nasib bangsa ini. Sebutlah Di Bawah Bendera Revolusi karangan Soekarno. Buku ini berisi semua pemikiran brilian sang proklamator, terutama pada masa pra-kemerdekaan. Juga Bung Hatta, si kutu buku, yang dengan pledoi terkenalnya “Indonesie Vrij” – Indonesia Merdeka. Hatta menulis itu dari balik tembok penjara di Belanda saat ditahan Pemerintah Hindia Belanda pada masa studinya.
 
Nilai universal
Situasi yang ada sekarang sangat berbeda. Sastrawan Taufik Ismail pernah melakukan riset tentang kewajiban membaca buku sastra di beberapa negara di kalangan pelajar setingkat SMU selama tiga tahun masa studi mereka. Hasil risetnya menunjukkan, para pelajar SMU di Jerman wajib membaca 32 buku sastra, di Belanda 30 buku, di Amerika Serikat sebanyak 25 buku, di Jepang 12 buku, di Singapura 6 buku, di Malaysia 6 buku, dan di Indonesia nol! Hal itu sudah berlangsung lebih dari 60 tahun dan tidak ada yang "panik". Tragedi nol buku! Suatu kemunduran yang mengerikan.
Lalu, apa hubungannya dengan situasi bangsa? Apakah berarti kita ingin menjadikan semua anak di negeri ini menjadi sastrawan? Bukannya negeri ini konon membutuhkan lebih banyak  insinyur, ahli hukum, dan tenaga medis?
Membaca bukan sekedar untuk mengerti arti kata, arti kalimat dan jalan cerita sebuah kisah. Membaca yang benar bukan sekedar kegiatan kognitif. Membaca bukan sekedar untuk ngerti dansekedar tahu. Membaca itu untuk mengolah rasa, mengasah kepekaan, serta membangkitkan kesadaran.
JK Rowling, salah satu penulis tersukses abad ini, mengatakan bahwa salah satu buku favoritnya adalah Macbeth karya pujangga terkenal Willian Shakespeare. Selain itu, Rowling juga menggilai buku-buku politik tentang Abraham Lincoln. Genre buku yang ditulis Rowling sangat berbeda dengan karya besar Shakespeare. Kita pun sulit membayangkan irisan antara Harry Potter, si karakter utama di buku karangannya dengan Abraham Lincoln si bapak bangsa Amerika, jika kita hanya melihat dari permukaan saja. Namun, itulah kekuatan membaca! Tak ada batasan genre dalam buku, tidak ada batasan ideologi dalam buku, tidak ada batasan zaman dalam buku.
Membaca novel Harry Potter sama nilainya dengan membaca Little Women karya Louisa May Alcott atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka atau Filosofi Kopi milik Dewi Lestari. Ya, karya sastra adalah tulisan paling paripurna. Di dalamnya ada rasa, penghayatan dan juga fakta kehidupan. Di dalamnya ada totalitas dan jiwa sang penulis. Itu yang tidak didapat dari buku referensi atau buku pelajaran biasa. Membaca dengan totalitas akan menghasilkan tulisan dengan totalitas pula.
Mungkin, jika Hatta dulu tidak dijejali dengan karya-karya sastra, maka ia hanya akan menjadi seorang ahli ekonomi, bukan proklamator! Boleh jadi, dia mendapatkan gelora cinta tanah air dan kesadaran untuk memerdekakan rakyat terjajah dari buku-buku sastra yang dibacanya. 
Buku adalah universal. Ia hanya mengenal imajinasi, kreatifitas, dan rasa ingin tahu. Kekuatan "sihir" dari buku juga dapat mengubah orang memiliki wawasan lebih luas dan cita-cita, serta berorientasi pada penyelesaian masalah (action). Membaca adalah kegiatan kognitif, afektif sekaligus psikomotorik.

Memupuk budaya baca
Apa ciri suatu bangsa sudah memiliki budaya baca yang baik? Banyak sekali fenomena sehari-hari yang dapat menunjukkan hal itu. Sebutlah misalnya, apakah bangsa tersebut lebih bangga memiliki gedung pencakar langit tertinggi di dunia dan mal terbesar di Asia, atau lebih bangga memiliki toko buku terindah di dunia?
Maastricht, salah satu kota di Belanda, memiliki sebuah toko buku sekaligus perpustakaan yang merupakan salah satu toko buku terindah di dunia. Selexyz Dominicanen adalah sebuah gereja abad ke-13 yang pernah dijadikan hanya sebagai gudang arsip dan tempat parkir sepeda, dan kini dialih fungsikan menjadi kebanggaan dan ikon kota cantik di bagian selatan negeri kincir angin itu. Bandingkan dengan rumah-rumah retro yang cantik di sepanjang jalan Dago di Bandung. Tak satu pun yang menjadikannya sebagai toko buku atau perpustakaan. Bangunan nan anggun itu harus "rela" hanya dijadikan factory outlet atau warung batagor.
Membaca tidak cukup dijadikan ajakan atau himbauan. Membaca harus menjadi kewajiban. Jika perlu dikembangkan kurikulum pendidikan nasional berbasis membaca.
Kewajiban membaca bagi siswa adalah membaca dalam pengertian lengkap. Bukan sekedar menghafal siapa nama penulis buku Layar Terkembang atau siapa tokoh antagonis dalam buku Siti Nurbaya. Tapi, membaca yang mampu mengasah rasa, menumbuhkan nilai-nilai dan membangun karakter.
Membangun kecintaan pada membaca bukanlah pekerjaan satu malam dan tanggung jawab sekolah saja. It takes a village! JK Rowling mengatakan:"Kalau kamu belum suka membaca, kamu hanya belum menemukan buku yang tepat."
Jadi, jangan menyerah, teruslah pupuk minat membaca!

Bangsa yang membaca
"Iqra! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.” Iqra, dari kata dasar qara’a atau menghimpun. Inilah wahyu pertama sekaligus kunci dari kehidupan dan peradaban. Membaca bukan sekedar literasi aksara. Membaca adalah menelaah, mendalami, meneliti, dan menyampaikan. Bangsa yang membaca akan lebih bijak, karena ia memilki banyak jendela untuk memandang masalah dari berbagai sudut.
Bangsa yang membaca adalah bangsa yang mencari solusi dengan melihat ke dalam (inward looking) dan bukan sibuk berteriak menghujat pihak lain sebelum melihat kepada dirinya sendiri. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang terstruktur cara berpikirnya, karena membaca buku fiksi maupun nonfiksi sama-sama menstimulasi kerja otak. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang ‘tenang’, tidak grasak-grusuk.  Karena membaca membutuhkan ‘ruang tenang’ baik itu di perpustakaan, maupun di bis atau kereta komuter yang padat penumpang sekalipun. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang memiliki kepekaan dan kesadaran. Kesadaran terhadap dirinya, kekuatan dan kelemahannya dan kepekaan terhadap sekelilingnya. Bangsa yang membaca tidak mudah menyebar hoax ke berbagai media sosial, tidak membuang waktu berdebat untuk hal yang tidak jelas dasarnya. Bangsa yang membaca memiliki lisan yang santun, runut dan kental karena merupakan hasil dari menghimpun, mengamati, merenungkan, dan merefleksikan apa yang dilihat, dan dirasakan.
Buku adalah tentang peradaban. Hanya bangsa yang membaca yang memiliki karakter dan peradaban tinggi. Bangsa yang tidak membaca lambat laun akan tersingkir dari peradaban. Ya, bangsa yang membaca adalah bangsa yang merdeka...

http://edukasi.kompas.com/read/2017/03/17/0916462/bangsa.yang. berkarakter.adalah.bangsa. yang. membaca.

Senin, 23 Januari 2017

Sistem Kepartaian di Indonesia

Partai politik pertama-tama lahir di Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka lahirnya partai politik adalah sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Di negara yang menganut paham demokrasi, rakyat berhak berpartisipasi untuk menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil rakyat dan menjadi pemimpin mereka yang nantinya akan menentukan kebijakan umum.

Definisi Partai Politik
UU No 2 Tahun 2008 - Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Tujuan Partai Politik
Tujuan partai politik adalah untuk meraih dan mempertahankan tahta kekuasaan untuk mewujudkan rencana program yang telah disusun oleh mereka sesuai ideologi yang dianut.

Fungsi Partai Politik
  • Mobilisasi dan Integrasi
  • Alat pembentukan pengaruh terhadap perilaku pemilih
  • Alat elaborasi pilihan-pilihan kebijakan
  • Alat perekrutan pemilih

Menurut Ramlan Subekti(1992) - Sistem Kepartaian adalah pola perilaku dan interaksi diantara partai politik dalam suatu sistem politik.
Austin Ranney(1990)- Sistem Kepartaian adalah pemahaman terhadap karakteristik umum konflik partai dalam lingkungan dimana mereka berkiprah yang dapat digolongkan menurut beberapa kriteria.
Riswanda Imawan (2004)- Sistem Kepartaian adalah pola interaksi partai politik dalam satu sistem politik yang menentukan format dan mekanisme kerja satu sistem pemerintahan.
Hague and Harrop(2004) - Sistem Kepartaian merupakan interaksi antara partai politik yang perolehan suaranya signifikan.

Sistem Kepartaian Indonesia menganut sistem multi partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.
Sejak era kemerdekaan, sebetulnya Indonesia telah memenuhi amanat pasal tersebut. Melalui Keputusan Wakil Presiden No X/1949, pemilihan umum pertama tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen.
Pada masa pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto memandang terlalu banyaknya partai politik menyebabkan stabilitas poltik terganggu, maka Presiden Soeharto pada waktu itu memiliki agenda untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik dan pada tahun 1974 peserta pemilu tinggal tiga partai politik saja. Presiden Soeharto merestrukturisasi partai politik menjadi tiga partai (Golkar, PPP, PDI) yang merupakan hasil penggabungan beberapa partai. Walaupun jika dilihat secara jumlah, Indonesia masih menganut sistem multi partai, namun banyak ahli politik menyatakan pendapat sistem kepartaian saat itu merupakan sistem kepartaian tunggal. Ini dikarenakan meskipun jumlah partai politik masa orde baru memenuhi syarat sistem kepartaian multi partai namun dari segi kemampuan kompetisi ketiga partai tersebet tidak seimbang.

Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba.

Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru. Persentase Electoral Threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan.
Sumber:
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/05/sistem-kepartaian-di-indonesia.html