Rabu, 24 Desember 2008

Sosialisasi Pemilu 2009 Minim di Daerah

Kinerja KPU
Sosialisasi Pemilu 2009 Minim di Daerah


Rabu, 24 Desember 2008 | 03:03 WIB

Jakarta, Kompas - Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia mengeluhkan kurangnya sosialisasi Pemilu 2009 di daerah-daerah. Padahal, banyak hal baru yang harus segera diketahui masyarakat di daerah terkait dengan penyelenggaraan pemilu, seperti memberi tanda contreng untuk memilih wakil rakyat.

Demikian terungkap dalam audiensi Adkasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Selasa (23/12).

Anggota DPRD Purworejo, Sutarno, yang memimpin rombongan Adkasi mengatakan, sosialisasi pemilu hanya ada di tingkat pusat, sedangkan di kabupaten/kota belum terlihat ada sosialisasi.

”Misalnya tanda contreng, banyak warga di daerah sampai di tingkat bawah belum mengetahui bagaimana tanda contreng itu. Sosialisasi belum terasa di daerah, terutama daerah-daerah pemekaran dan daerah dengan topografi yang sulit mengakses informasi,” katanya.

”Selain itu, KPU juga jangan mengeluarkan aturan yang menimbulkan banyak penafsiran oleh penyelenggara pemilu di tingkat daerah,” ujar Sutarno.

Sosialisasi spanduk

Menanggapi hal itu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengungkapkan, meski dengan dana minim, KPU sudah berusaha melakukan sosialisasi, termasuk ke berbagai daerah, dari tingkat kabupaten sampai desa.

”Sosialisasi memang lemah, tetapi bukan berarti tidak ada. Ada keinginan dari kami, pada bulan Januari mendatang, intensitas sosialisasi pemilu akan ditingkatkan,” kata Hafiz.

Menurut Hafiz, KPU dan KPU daerah sudah memasang berbagai macam spanduk, tetapi kadang-kadang masyarakat menganggap itu bukan sosialisasi. KPU menggunakan tiga cara dalam sosialisasi, yaitu memasang iklan di media massa, komunikasi tatap muka, dan mobilisasi sosial.

Anggota KPU, Endang Sulastri, menambahkan, KPU telah berupaya melakukan sosialisasi ke daerah dengan berbagai macam kegiatan. Salah satu kegiatan terakhir yang dilakukan oleh KPU adalah menggelar pertunjukan wayang kulit di Kota Surakarta. (SIE)

Selasa, 16 Desember 2008

Mega Ajak Mas Sultan Bernostalgia

Mega Ajak Mas Sultan Bernostalgia


KOMPAS.COM/INGGRIED DWIWEDHASWARY
Buku testimoni tentang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, berjudul "Mereka Bicara Mega" diluncurkan di Hotel SUltan, Jakarta, Jumat (12/12).

JAKARTA, JUMAT — Apa jadinya kalau dua orang capres bernostalgia? Bukan tentang kisah mereka berdua, tetapi bernostalgia tentang orang yang sama-sama dikenal dengan baik. Itulah yang terjadi pada peluncuran buku Mereka Bicara Mega, Jumat (12/12) di Jakarta.

Saat memberikan sambutan, Megawati Soekarno Putri mengajak Sri Sultan HB X yang hadir pada acara tersebut untuk mengingat ayahanda Raja Jogja itu, Sri Sultan HB IX. Mega, dalam ceritanya, mengaku cukup kenal baik dengan Sri Sultan HB IX. Kepada Sri Sultan HB X yang dipanggilnya Mas Sultan, ia mengajak flash back dengan kisahnya bersama ayah Gubernur DIY itu.

"Mas Sultan (Sultan HB X), saya punya pengalaman lo dengan Pak Sultan," kata Mega yang dilanjutkan, "Waktu itu saya mau maju. Saya pikir saya harus menghadap Pak Sultan. Minta dukungan. Kata Mbak Norma (kerabat Keraton Jogja), menghadapnya kayak menghadap raja. Ya sudah, saya ngomong. Pak Sultan, saya mau maju," kisah Mega.

"Kemudian Pak Sultan bilang, 'Terus, karepmu opo, Mega'. Ya saya bilang saja minta dukungan, maksudnya supaya bisa dapat suara di Jogja. Beliau bilang, 'Yo wis (ya sudah)'. Setelah itu saya bingung maksudnya apa. Ternyata, kata Mbak Norma, kalau sudah bilang begitu berarti pandito raja. Dan ternyata Mas Sultan, saya dapet suara lo di Jogja," kata Mega sambil melihat ke Sultan yang hanya tersenyum mendengar cerita Mega.

Mega pun mengingatkan, bahwa secara historis, kisah hidupnya banyak dibantu oleh Sri Sultan HB IX. Dulu, Jogja selalu menjadi kota tujuannya kala libur. Bahkan, saat ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, ia dan keluarganya ditampung oleh Sri Sultan HB IX.

Mega: Ternyata Saya Keren Juga Ya...

Mega: Ternyata Saya Keren Juga Ya...


Chung Sung-Jun/Getty Images
Megawati Soekarnoputri

JAKARTA, JUMAT — Puncak peluncuran buku Mereka Bicara Mega ditandai dengan pidato dari sang empunya buku, Mega, dalam sambutan santainya, berulang kali mengundang gelak tawa para tamu undangan peluncuran buku yang berlangsung di Golden Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (12/12) sore.

Kali ini, Mega tak banyak berbicara tentang dunia politik yang selama ini akrab dengannya. Ia berkisah tentang berbagai cuplikan kisah yang dialami dalam hidupnya. Kisah-kisah ringan yang menurutnya selama ini tak diketahui publik.

"Boleh juga ya, orang tahu siapa saya. Kayaknya kalau saya baca di media, kok saya itu ditempatkan di down grade. Seakan-akan saya tidak cerdas, naif, hanya ibu RT. Tapi sebenarnya itu kan bisa dipatahkan dengan kenyataan bahwa saya ini ketua umum partai yang paling lama di Indonesia," kata Mega sambil tertawa.

Ia lantas bercerita bahwa jalannya menuju kursi wapres dan presiden adalah jalan yang berliku. Putri Bung Karno itu pun merasa prihatin dengan anggapan bahwa perempuan tidak bisa memimpin. Entah bermaksud menyindir pemimpin laki-laki atau tidak, yang jelas Mega membuat ilustrasi yang cukup membuat ger-geran.

"Tahun 2004, saya berharap ibu-ibu bisa memilih saya. Ternyata tidak. Kalau saya ke daerah, ibu-ibu minta maaf karena salah pilih. Saya bilang, makanya bu, yang paling tahu bikin sambal kan kita-kita (perempuan). Bapak-bapak itu mana tahu harga-harga makanya seenaknya. Coba tanya harga cabe berapa? Pasti lihat kanan kiri tanya ke istrinya," ujar dia sambil tersenyum.

Tentang buku yang berisi testimoni dirinya, Mega tak menyangka bahwa apa yang dituliskan rekan-rekannya bernada positif semua. Dengan sedikit narsis ia berujar, "Isinya bagus-bagus semua." "Saya sampai berpikir, ternyata saya keren juga ya...," katanya kembali dengan tawa.

Dicari Caleg Rajin Kunjungi Konstituen


Dicari Caleg Rajin Kunjungi Konstituen

JAKARTA,KAMIS-Dalam realitas politik, ternyata banyak politisi yang duduk di kursi panas dewan tidak dikenal oleh para konstituennya hingga masa akhir jabatannya. Mereka hanya muncul pada masa kampanye, lantas "menghilang" setelah pemilihan anggota legislatif berlangsung, entah sudah terpilih ataupun tidak.

Wajar saja, jika para perempuan mengharapkan caleg yang berkomitmen penuh mengunjungi konstituennya setelah terpilih nanti. Penelitian Kalyanamitra mengenai kualitas perempuan politisi di legislatif yang dipublikasikan di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (4/12), menunjukkan bahwa 25 perempuan dari kalangan bawah yang menjadi responden menunjukkan bahwa mereka sama sekali belum pernah dikunjungi oleh anggota dewan pusat maupun daerah.

Menurut Direktur Eksekutif Kalyanamitra Rena Herdiyani, rakyat hanya diposisikan sebagai mesin suara pada saat pemilu. Hingga, sejumlah responden melihat para calon anggota legislatif hanya melontarkan janji-janji kosong pada saat kampanye.

"Tak ada satupun dari mereka yang pernah menerima hasil laporan atau pertanggungjawaban kerja anggota DPR ataupun DPRD misalnya mengenai apa yang saya kerjakan atau yang tidak saya kerjakan," tutur Rena.

Rena berharap calon anggota legislatif Indonesia belajar dari anggota legislatif di Filipina yang memiliki laporan pertanggungjawaban kepada konstituennya secara rutin setiap bulan melalui newsletter dan memberikan kesempatan merespons kepada konstituennya.

Dengan demikian, mereka akan mengetahui aspirasi konstituennya dari waktu ke waktu sesuai konteks perkembangan masa. "Harus ada cara mengomunikasikan hasil kinerja mereka langsung," tandas Rena.

Komunikasi yang tidak berjalan ideal antara wakil rakyat dan konstituennya, menurut penelitian Kalyanamitra, dapat dikategorikan sebagai kekerasan politik. Karena, ada pihak yang seharusnya bertanggungjawab dan berkewajiban melayani orang-orang yang telah memberikan kepercayaan melalui proses politik setiap lima tahun sekali, justru dengan sadar mengabaikannya.

Masa reses DPR RI setiap tiga bulan sekali harusnya digunakan untuk bekerja dan mengunjungi konstituen bukan untuk bersenang-senang.

Minggu, 14 Desember 2008

Jika Terpilih, Mega Tak Ingin Cawapresnya Incar Capres

[ Sabtu, 13 Desember 2008 ]
Jika Terpilih, Mega Tak Ingin Cawapresnya Incar Capres
Peluncuran Buku Dihadiri Sejumlah Calon Presiden

JAKARTA - Megawati Soekarnoputri, capres dari PDIP, tampaknya sadar betul dengan risiko negatif bila cawapresnya nanti menyimpan obsesi besar untuk menjadi presiden. Bukan tidak mungkin akan terjadi persaingan merebut simpati yang bisa kontraproduktif bagi jalannya pemerintahan sekiranya jika dia benar-benar terpilih dalam Pilpres 2009.

Karena itu, selain memiliki komitmen terhadap NKRI, Pancasila, dan pluralisme serta mampu menambah potensi suara, Mega berharap cawapresnya bukan orang yang nanti justru menjadi rival di pemerintahan.

"Awas lho, aku emoh wapresku mikir de'e presiden (Awas, saya tidak mau Wapres saya nanti mikir dia yang presiden, Red)," kata Mega dalam launching buku Mereka Bicara Mega di Hotel Sultan, Jakarta, kemarin (12/12).

Dengan nada bercanda, dia menyentil, banyaknya tokoh yang pernah dikandidatkan menjadi cawapresnya belakangan malah mendeklarasikan diri sebagai capres. "Kok nggak ada yang deklarasi jadi cawapres ya? Pram (Sekjen PDIP Pramono Anung, Red) sampai bingung mau duluan umumkan kriteria atau nama. Saya jawab, lho kamu kan yang Sekjen," cetus Mega lantas tertawa.

Acara yang berlangsung meriah mulai pukul 14.30 WIB itu memang dihadiri sejumlah tokoh yang sudah mendeklarasikan diri sebagai capres. Ada Sri Sultan HB X, Fadel Muhammad, Rizal Ramli, dan capres independen Fadjroel Rahman. Hadir juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDIP Taufik Kiemas dan Pramono.

Dari kalangan politisi, pengamat, dan aktivis, hadir Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi, Yudi Latief, Sukardi Rinakit, Garin Nugroho, Ikrar Nusa Bakti, dan Effendy Gozali.

Adapun buku Mereka Bicara Mega merupakan kumpulan artikel dari 38 tokoh nasional dengan beragam latar belakang. Sesuai dengan judul buku itu, mereka membuat penilaian terhadap sosok putri proklamator Bung Karno tersebut.

Tidak main-main, tokoh sekaliber Ahmad Syafii Ma'arif, Akbar Tandjung, Amien Rais, Prabowo Subianto, Salahuddin Wahid, Jalaludin Rahmat, Khofifah Indar Parawansa, Alwi Shihab, Rokhmin Dahuri, Ahmad Sumargono, dan Malik Fadjar ikut berkonstribusi. Malah, Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin yang diberi porsi memberikan kata pengantar tak kuasa menahan diri untuk tidak ikut berkomentar.

"Itu bagian dari kejutan yang diberikan teman-teman, mungkin karena jengkel. Soalnya, saya memang paling malas diminta untuk menceritakan diri sendiri," ungkap Mega.

Sementara itu, Pramono menyatakan, banyak hal menarik yang terungkap dalam buku tersebut. Misalnya, kisah Akbar dengan Mega sewaktu keduanya masih remaja. "Ternyata, saat SMP, Pak Akbar sering menjemput Ibu Mega untuk les bahasa Inggris," ujarnya yang langsung disambut tawa hadirin.

Dalam tulisannya, Akbar memang menceritakan bahwa dirinya dan Mega duduk di SMP yang sama, yaitu SMP Cikini, Jakarta Pusat. Meskipun Mega berstatus anak presiden yang terikat protokoler, ungkap dia, mereka tetap menjaga jalinan komunikasi. Misalnya, Akbar hadir di acara ulang tahun Mega meskipun tidak diundang.

Pada 1970-an, selepas SMP, mereka sama-sama mengambil kursus bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (LIA). "Bahkan, saya pernah mengantarnya pulang setelah kursus. Artinya, kami telah menjalin hubungan silaturahmi sejak masih muda," curhat Akbar dalam tulisannya.

Dalam sambutan itu, Sri Sultan HB X menuturkan sejak kecil mengenal Mega. Malah, di antara kedua orang tua, sudah tumbuh komitmen dan cita-cita yang sama untuk memerdekakan republik dan mempertahankan kemerdekaan. "Tugas kami tentunya menjaga nama baik orang tua masing-masing," ucapnya.

Fadel menjelaskan, selama menjadi presiden, Mega tiga kali mengunjungi Gorontalo. Dalam kunjungan itu, papar dia, Mega selalu mendorong dirinya untuk mengembangkan potensi daerah seoptimalnya.

"Saya sendiri meyakini, kalau daerah maju, negara pasti kuat. Sekarang ini, semua masih tersentralisasi di pusat. Sepertinya, negara ini cuma Jakarta. Sementara itu, anggaran daerah kecil. Makanya, pembangunan daerah tersendat-sendat," ujarnya.

Kepada wartawan yang bertanya soal peluang mendampingi Mega sebagai cawapres, Fadel menjawab dengan sangat diplomatis. "Saya berpikir sederhana saja. Saya punya kelemahan, yaitu masih menjadi gubernur dan ketua DPD Partai Golkar di Gorontalo," terangnya.

Mengapa menjadi ketua DPD Partai Golkar di Gorontalo menjadi persoalan? "Politik itu sangat sensisitf. Makanya, jangan sampai salah main. Nanti bisa terjebak. Bagaimanapun, hasil pemilu pasti berpengaruh," tegasnya. Masih berharap bisa melalui jalur Golkar? "Golkar kini ibaratnya lagi macet. Mobil di belakang tit...tit...tit, tapi yang depan nggak mau jalan," candanya.

Taufik juga menolak berkomentar banyak, apakah yang ideal duet Mega-Sultan atau Mega-Fadel. Menurut dia, pendekatan Jawa-luar Jawa sudah tidak relevan. "Keduanya sama-sama mewakili bangsa Indonesia," ungkapnya. Mengapa kandidat capres lain tidak diundang? "Oh, Prabowo dan Hidayat diundang, cuma berhalangan," imbuhnya. (pri/tof)

Senin, 01 Desember 2008

Pendamping Megawati Ditentukan Usai Pemilu Legislatif

Pendamping Megawati Ditentukan Usai Pemilu Legislatif

Chung Sung-Jun/Getty Images
Megawati Soekarnoputri

JAKARTA, RABU - Anggota Dewan Pertimbangan Partai (DPP) PDI Perjuangan, A.P. Batubara menjelaskan, partainya baru akan menentukan siapa yang akan dijadikan sebagai pendamping Megawati Soekarnoputri di 2009 mendatang setelah mengetahui hasil Pemilu Legislatif 2009. Pengunduran penetapan calon wakil presiden Megawati, lanjut A.P. Batubara, berdasar pertimbangan situasi politik yang dinamis.

Ia kemudian membantah Rakernas III PDI Perjuangan yang akan dilangsungkan di Solo, Jawa Tengah pada awal tahun depan, 27-29 Januari nanti untuk mengumumkan secara resmi pendamping Megawati di 2009.

"Agenda utamanya di Rekernas nanti adalah mempersiapkan Pemilu legislatif. Belum akan mengumumkan siapa cawapresnya. Hanya saja memang, yang sudah melamar Bu Mega sudah banyak, tapi kita belum akan menjelaskannnya siapa. Yang jelas, mereka yang menawarkan diri untuk menjadi pendamping bu Megawati," kata AP Batubara.

Dijelaskan, penentuan cawapres PDI Perjuangan usai Pemilu legislatif ini, juga didasari atas dasar kehati-hatian dalam memilih pendamping Megawati di 2009. Terlebih, lanjutnya lagi, PDIP sampai saat ini masih menginginkan adanya sebuah koalisi di 2009 nanti.

"Koalisi sangat penting. Namun dengan siapanya, masih penuh pertimbangan. Tapi secara pribadi, kalau PDI Perjuangan bisa meraih suara sampai 30 persen, koalisi sudah tidak perlu dilakukan. Segala sesuatunya, tentu menjadi keputusan partai dan bu Megawati,dengan siapa mau berpasangan dalam Pemilu nanti," jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) yang juga Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo juga sudah menyatakan partainya masih belum bisa memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping Megawati dalam pemilihan presiden 2009 mendatang. Tjahjo beralasan, PDI Perjuangan menginginkan agar pendamping Megawati didukung oleh parpol untuk membangun system presidensil yang efektif dengan koalisi parpol kuat termask di tingkat parlemen.

"PDIP akan memutuskan siapa pendamping Mega setelah mengetahui hasil pemilu legislative 2009. Oleh karena itu, saya meminta kepada seluruh kader PDIP untuk bisa memahami lambannya PDI-P mengumumkan nama pendamping Mega. Ini disebabkan atas perkembangan yang terjadi. Mencari figur yang dianggap serius dan mampu menjadi cawapres ternyata dideklarasikan menjadi capres oleh parpol lain," kata Tjahjo Kumolo.

Tjahjo juga membenarkan sudah ada sejumlah nama namun belum bersifat final karena dinamika politik berubah-ubah. "Kita tidak mau salah mengambil figur. Cawapres bu Mega nanti diharapkan mampu menambah perolehan suara dan tidak hanya mengandalkan perolehan suara dari Bu Mega sendiri," jelasnya.

Kini, ada lima nama yang disebut-sebut sedang dipertimbangkan secara matang untuk dijadikan calon pendamping Megawati dalam Pilpres 2009 mendatang. Ke limanya antara lain, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Gerindra, Prabowo Subianto serta Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto.(Persda Network/YAT)

Parpol Pragmatis untuk Generasi Apolitis

Parpol Pragmatis untuk Generasi Apolitis

Litbang Kompas/Pandu

KEPENTINGAN pragmatis partai politik untuk meraup suara dalam waktu singkat memunculkan beragam upaya untuk merebut simpati generasi muda yang tidak peduli kepada politik.

Meilan Saidui (20), mahasiswi semester pertama Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Manokwari, Papua Barat, asyik menonton sinetron Kawin Massal. Walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00, tak henti-hentinya dia bercerita tentang idolanya, Agnes Monica, yang cantik, jago akting, dan merdu suaranya.

Jangan tanya Meilan tentang tokoh politik atau pemerintah. Alisnya langsung mengkerut dan bibirnya tertutup rapat.

Di Palu, Faradilah (19), mahasiswa semester V STMIK Bina Mulia banyak mengisi waktunya dengan nonton sinetron dan infotainment. Acara berita, jarang ditonton. Demikian juga Mad Fadhol (17) dan Isti Wijayanti, keduanya siswa SMA Negeri 1 Samarinda yang sukanya menonton siaran olahraga dan reality show.

Kalangan mahasiswa, Nuzula dari Universitas Negeri Jakarta dan Hety Apriliastuti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga mengakui lebih banyak tertarik pada hiburan dan infotainment daripada memerhatikan berita politik. ”Di jalan-jalan sih belakangan ini banyak tempelan poster wajah caleg, tapi enggak kepikiran,” kata Hety.

Kalau sudah begitu, rasanya tidak aneh ketika Nuzula mengaku tidak tahu kapan pemilu akan dilaksanakan. Kalau tanggalnya saja tidak tahu, bagaimana dengan profil calon legislatif maupun program partai?

”Jangankan memahami caleg, siapa atau bagaimana, partai yang mengusungnya pun saya hanya tahu satu atau dua,” tukas Nurhayati (20), mahasiswi Umitra, Bandar Lampung.

Tak kenal caleg

Lewat jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 221 orang berusia 17-21 tahun yang didefinisikan sebagai pemilih pemula atau memilih untuk pertama kalinya, hanya 2,3 persen yang mengakui tahu banyak tentang program partai politik.

”Tidak ada caleg yang saya kenal, malah saya tidak ingat nama menteri dan dari partai mana dia berasal,” kata Anto (21), warga Kota Makassar yang berprofesi sebagai tukang parkir dengan pendapatan Rp 60.000 per hari.

Walaupun demikian, 80,5 persen menyatakan akan ikut dalam pemilu, baik legislatif maupun presiden. Keinginan untuk ikut memilih ini disambut positif oleh Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay.

Menurut dia, walau 67,4 persen motivasi mereka hanya untuk menunaikan hak dan sebagian menyebutnya kewajiban, ini adalah hal positif yang bisa menjadi dasar pemikiran bahwa pemilu adalah hal penting.

Gancar Tri Wicaksono (18), atlet biliar dari Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto mengaku antusias untuk ikut Pemilu 2009. Ia sangat berharap lewat pemilu nanti akan terpilih anggota legislatif yang membawa perubahan di bidang ekonomi sehingga harga BBM dan makanan tidak naik terus. ”Lewat kawan-kawan dan isu yang berkembang bisa ketahuan mana yang baik,” katanya.

Para pemilih pemula ini rupanya memandang kejujuran sebagai kriteria utama mereka memilih anggota legislatif atau presiden. Pengalaman kepemimpinan juga dianggap perlu, tanpa memedulikan usia ataupun program.

Melihat potensi pemilih pemula yang menggiurkan—jumlahnya mencapai sekitar 36 juta orang atau 19 persen dari pemilih total—mayoritas partai politik menyusun strategi untuk merebut suara mereka.

Strategi parpol

Mengakui kesulitan untuk menembus dinding ketidakpedulian para pemilih muda ini, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengambil langkah pembentukan citra. Mereka mengadakan acara-acara yang sepertinya cocok dengan selera anak muda.

Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar bercerita bagaimana anak-anak dari anggota Partai Golkar, misalnya, yang tergabung di G23 mengadakan pertandingan futsal dan band indie. Diharapkan, lewat acara ini terjadi pertemanan yang kemudian membuat anak-anak muda tertarik memilih Golkar. ”Anak-anak muda ini tidak sampai berpikir apakah kepentingan mereka diakomodasi Golkar, yang penting image,” kata Rully.

Hal serupa dilakukan PDI-P, yang 11 Januari 2008 mendeklarasikan Taruna Merah Putih. Menurut ketuanya, Maruarar Sirait, pihaknya mengadakan kegiatan seperti bimbingan belajar, pelatihan komputer. Melalui kegiatan tersebut PDI-P ingin membangun citra. Soal pendidikan politik, itu dilakukan sambil jalan.

Sementara Partai Keadilan Sejahtera berupaya memupus citra sebagai partai eksklusif dengan organisasi bernama Gema Keadilan (GK). GK dibuat untuk meraih pemilih pemula dan anak muda. Menurut ketuanya, Rama Pratama, penjaringan diambil dari simpul-simpul massa dari komunitas yang sudah ada, seperti Jakmania, suporter Persija.

Mereka juga berusaha membuka diri terhadap komunitas yang selama ini tidak tersentuh, seperti preman serta komunitas musik Slank dan Iwan Fals. ”Kalau soal pendidikan politik, yah proseslah,” katanya.

Bentuk bimbingan tes dan olahraga dilakukan Partai Demokrat untuk meraih simpati pemilih pemula. Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menargetkan kedekatan psikologis lewat kegiatan sporadis.

Terkait itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo, mengomentari, upaya yang dilakukan parpol-parpol itu bukanlah pendidikan politik, bahkan bisa dikatakan memanipulasi. ”Mereka hanya berusaha mengubah paradigma bahwa politik itu adalah kursi dan rezeki, tetapi tidak sampai pada politik adalah proses pengambilan keputusan publik. (EDN/MDN/MHD/REN/ ICH/ROW/HLN/BRO)

Memetakan Minat Pemilih Pemula

Memetakan Minat Pemilih Pemula

Litbang Kompas/Gunawan

MENYANDANG sebutan sebagai pemilih pemula, golongan penduduk usia 17 hingga 21 tahun tidaklah selalu buta soal politik, termasuk soal pemilihan umum yang akan dihelat negeri ini tahun depan. Pengetahuan mereka terhadap pemilu tidak berbeda jauh dengan kelompok lainnya. Yang berbeda adalah soal antusiasme dan preferensi.

Antusiasme pemilih pemula, yaitu pemilih yang akan mengikuti Pemilu 2009 untuk pertama kalinya, terangkum dalam hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 25-27 November lalu. Dari sejumlah pemilih pemula yang diwawancarai melalui telepon, terungkap bahwa mayoritas (86,4 persen) menyatakan akan menggunakan hak suara mereka dalam pemilu.

Tingkat antusiasme ini termasuk paling tinggi. Pada kelompok pemilih muda lainnya, yang sudah pernah menggunakan hak suaranya, seperti kelompok usia 22-29 tahun dan 30-40 tahun, tingkat antusiasmenya lebih rendah sekitar 5 persen. Pada kelompok usia yang lebih tua, yakni 41 tahun ke atas, antusiasme untuk mengikuti pemilu dalam bentuk memberikan suara lebih rendah lagi, yaitu 79,3 persen.

Alasan di balik niat mencoblos para pemilih mula adalah pemikiran bahwa apa pun hasil pemilu akan berdampak juga bagi kehidupan mereka, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih baik ikut memberikan suara. Namun, seperti apakah sebenarnya preferensi para pemilih pemula ini?

Setelah berjalan hampir empat bulan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 34 parpol nasional peserta Pemilu 2009 yang kemudian bertambah menjadi 38 parpol, pengenalan para pemilih pemula terhadap parpol masih rendah.

Lebih banyak responden pemilih pemula yang mengaku hanya tahu nama partai-partai besar yang sudah ada sejak dulu. Kondisi ini sebenarnya juga sama pada kelompok pemilih muda lainnya, bahkan juga pada pemilih yang tua. Tidak heran hanya sekitar 1,5 persen dari total responden yang mengaku mengetahui hampir semua parpol.

Hal ini mengindikasikan masih lemahnya sosialisasi partai-partai baru di masyarakat. Selain banyak tidak mengetahui keberadaan partai baru, bagian terbesar responden juga tidak mengetahui nama-nama caleg yang diusung parpol. Padahal mereka (caleg) inilah yang nantinya akan dipilih.

Jika seandainya saat ini dilakukan pemilihan umum legislatif, sejumlah besar pemilih pemula ini (33,9 persen) masih belum memutuskan partai mana yang akan dipilih. Sementara itu, sejumlah 49 persen responden pemilih pemula yang sudah punya pilihan diperebutkan oleh partai-partai mapan seperti Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Golkar.

Partai-partai baru, meski tidak dinafikan oleh para pemilih pemula untuk dipilih, belum sampai pada tingkat menarik minat mencoblos. Artinya, preferensi pemilih pemula terhadap partai baru dalam tingkatan penerimaan (akseptabilitas) namun belum konkret menjadi sebuah pilihan politik (elektabilitas)

Pengaruh keluarga

Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal.

Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat.

Kondisi tersebut tampak jika merunut perilaku pemilih pemula pada beberapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Hasil jajak pendapat pasca-pemungutan suara (exit poll), pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (8 Agustus 2007), menunjukkan orangtua adalah yang paling memengaruhi pilihan para pemilih pemula. Teman dan saudara juga ikut memengaruhi namun dengan persentase yang lebih kecil.

Pola yang sama juga terlihat pada hasil exit poll Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (13 April 2008) dan Jawa Timur putaran pertama (23 Juli 2008). Orangtua menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan para pemula di Jabar dan Jatim (lihat tabel). Selain teman dan saudara, yang turut memengaruhi pilihan adalah pasangan hidup. Di Jatim, peran orangtua dalam memengaruhi pilihan sebagian besar diambil alih oleh pasangan hidup si pemilih.

Media massa juga turut memengaruhi pilihan pemilih pemula. Pengaruh terbesar berasal dari pemberitaan media elektronik terutama televisi (antara 60 persen dan 67 persen).

Disusul kemudian lewat spanduk, poster, brosur, dan sejenisnya. Sementara pengaruh dari internet belum begitu besar bagi kelompok ini, hanya 0,5 persen-2 persen.

Konsep mengenai ke-Indonesiaan yang dimiliki kelompok muda juga mendorong mereka menentukan pilihan secara otonom. Dari hasil jajak pendapat diketahui, para pemilih pemula ini memiliki gambaran ideal tentang Indonesia, yaitu Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Untuk menuju Indonesia yang seperti itu, jalannya adalah melalui pemilu. Keyakinan ini disampaikan delapan dari sepuluh responden.

Program kampanye

Meski tidak mudah, tingginya antusiasme pemilih pemula untuk ikut mencoblos pada pemilu tahun depan menjadi peluang bagi partai baru.

Menurut responden, program atau isu yang perlu dikembangkan dalam kampanye partai agar menarik minat kalangan pemilih pemula adalah soal pendidikan dan kesehatan (30,8 persen).

Program yang perlu diperhatikan selanjutnya secara berturut-turut adalah kesejahteraan umum (21,3 persen) dan isu perekonomian (13,1 persen).

Tingginya antusiasme dan gambaran ideal pemilih pemula mengenai Indonesia, nantinya akan teruji saat Pemilu 2009. Suara pemilih pemula akan turut menentukan arah pemerintahan yang baru.

Paling tidak, didapat gambaran bahwa sesungguhnya kaum muda terutama pemilih pemula, tidak lagi apatis terhadap proses demokrasi saat ini.
(Litbang Kompas/GIANIE)

Megawati Hadiri Natal Bersama di Manado

Megawati Hadiri Natal Bersama di Manado
Megawati Soekarnoputri


Selasa, 2 Desember 2008 | 08:12 WIB

MANADO, SELASA - Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri dijadwalkan akan ikut perayaan Natal bersama dengan jajaran pengurus dan kader PDIP Sulawesi Utara (Sulut), pada akhir Desember 2008.

Wakil Ketua I DPD PDIP Sulut, Jendry Keintjem, Selasa, di Manado mengatakan, kegiatan ibadah Natal bersama di daerah itu merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan Megawati setiap tahun di Sulut.

Kunjungan Ketua DPP PDIP itu akan dirangkaikan dengan peresmian Kantor DPD PDIP Sulut yang dibangun atas biaya kader partai bersama calon anggota legislatif.

"Kehadiran Ibu Mega akan menjadi momentum kebangkitan partai ini untuk kembali memenangkan Pemilu 2009," ujarnya.

Ibadah Natal PDIP bersama Mega dilakukan secara terbuka dengan masyarakat Sulut, kata Keintjem yang juga Wakil Ketua DPRD Sulut.

DPD PDIP Sulut sendiri akan melaporkan seluruh kegiatan konsolidasi partai hingga ke tingkat desa dan kelurahan, terutama target untuk meraih minimal 12 kursi DPRD Sulut pada Pemilu 2009, katanya.