Sabtu, 02 Juni 2018

PEREMPUAN DAN POLITIK DI INDONESIA, ANALISIS PEREMPUAN INDONESIA Di BIROKRASI


Pendahuluan
Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah : publik maupun privat, domestik-reproduktif maupun produktif. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi  termarjinalkan.  Sistem budaya patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki,  biasa dituding sebagai faktor penyebab utama mengapa  kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi  subordinat laki-laki.[1]
De Beauvoir memaparkan, penindasan terhadap perempuan itu ada karena perempuan bekerja tetap diharapkan memainkan peran sebagai istri dan ibu. Kedua peran itu menuntut kewajiban yang berhubungan dengan urusan domestik. Bagi perempuan, bekerja merupakan salah satu cara menunjukkan eksistensi dirinya di tengah masyarakat. Feminisme eksistensialis menganggap bahwa dengan bekerja, perempuan menolak menjadi objek. De Beauvoir menyebut empat strategi perempuan untuk dapat mengaktualisasikan, yaitu bekerja, menjadi intelektual, menjadi transformator dalam masyarakat, dan menolak internalisasi sebagai objek dalam bentuk apa pun.[2]
Perempuan yang sedang meniti karier selalu berupaya mengatasi hambatan dan kegagalan yang dia hadapi sementara biasanya untuk kegiatan domestik mendapat bantuan orang lain, seperti menitipkan anak kepada orangtua atau pekerja rumah tangga. Bagi Eisenstein, adanya reformasi pada birokrasi tidak hanya adanya perempuan di level atas struktur, tetapi harus ada keterlibatan perempuan dalam penyusunan kembali institusionalisasi yang ada yang berkaitan dengan peran jender. Adanya hirarki wewenang dalam birokrasi sangat bertentangan dengan ide dasar feminisme, yaitu demokrasi. Posisi perempuan yang masih didominasi laki-laki akan mereproduksi masyarakat patriarki jika tidak diberi perspektif perempuan.[3] 
Seperti kebanyakan perempuan di penjuru dunia lainnya, kondisi dan posisi perempuan Indonesia di organisasi publik dapat dikatakan memprihatinkan. Banyak data dan fakta menunjukkan adanya kesenjangan dan diskriminasi gender dalam lembaga negara, baik lembaga politik maupun birokrasi.
Permasalahan
Perempuan Indonesia dimulai pada masa era Kartini yang menjadi semangat untuk melakukan sebuah tindakan yang disebut emansipasi wanita. Dari masa inilah Indonesia mulai mengenal akan pentingnya sosok wanita yang memperjuangkan pendidikan untuk para minoritas pada zaman dahulu, tetapi zaman telah berubah dan wanita pun bisa melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women – CEDAW) telah diterima dan disahkan oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Lebih dari  30 tahun sejak diakuinya konvensi tersebut secara internasional, lebih dari 170 negara di dunia telah meratifikasinya. Konvensi ini bisa menjadi landasan untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri.[4]
Di sisi lain HAM dan Gender merupakan isu yang sangat sering diperbincangkan saat ini, mengingat perempuan memiliki suara banyak serta kemampuan yang setara. Persoaalan yang begitu bias yang nampak bagian dari kehidupan suatu berbangsa dan bernegara. Namun jika dikaji lebih dalam mengenai gender akan lebih dirinci sebab ia memiliki akar dalam struktur sosial yang berlangsung cukup lama. Pembagian peran publik untuk laki-laki dan privat untuk perempuan, telah menggejala dan menjadi bagian di aneka belahan dunia.
Indonesia meratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak politik perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. Sementara CEDAW diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1984. Saparinah Sadli menyelenggarakan forum diskusi mengenai pentingnya Konvensi Perempuan sebagai instrumen untuk melakukan lobi untuk perubahan selama periode pemerintahan Orde Baru. Saparinah kemudian mendirikan Kelompok Kerja Pengawas Konvensi pada tahun 1994 bersama dengan sejumlah kaum feminis, untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan advokasi untuk implementasi penuh dari Konvensi Perempuan. Proses ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie pada tahun 1999, dengan meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan.[5]
Namun fakta yang muncul, selama puluhan tahun semenjak kemerdekaan NKRI, perempuan Indonesia tetap selalu menghadapi hambatan di dalam lingkungan publik dan ranah pribadi, di mana secara politik, hukum, sosial, budaya dan ekonomi sering mendapatkan ketimpangan perlakuan. Ketidaksetaraan perlakukan pada kaum perempuan tertanam secara terstruktur di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan pada era Orde Baru, hubungan dan peranan jender menjadi dimensi yang sangat penting dalam kerangka kontrol pemerintah. Ranah publik dan ranah pribadi secara tegas dan dibuat terpisah, dengan peran perempuan lebih ditekankan pada ranah pribadi. Idealitas perempuan pada masa Orde Baru adalah sebagai istri dan ibu rumah tangga. Doktrin ideologi ini bahkan sampai dikemukakan dalam terminologi “ibuisme negara”.[6]
Ruang publik tidak selamanya nyaman bagi perempuan. Ruang publik acapkali menempatkan perempuan dalam kondisi keterpaksaan. Serangkaian norma, peraturan hingga alasan religius secara sadar atau tidak telah menjadi jeruji bagi perempuan. Bukan berarti jeruji keterpaksaan itu selalu menyiksa. Ada pula perempuan yang berserah dan lantas menikmati saja keterpaksaannya di ruang publik. Perkembangan selalu membawa perubahan. Dinamika pembangunan membawa dampak pada nilai dan norma yang berlaku, adat istiadat, kebiasaan pandangan serta sikap perilaku individu maupun kelompok. Dalam tahap pembangunan sekarang makin dirasakan tuntutan peran aktif laki-laki dan perempuan. Kemitra sejajaran dapat terwujud apabilah kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sudah merupakan kenyataan. Hal ini bukan hal baru karena sudah ada dalam kelompok masyarakat tertentu.[7]
Kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan yang di butuhkan dalam pembangunan nasional. Oleh kerena itu, perempuan makin diharapkan mau dan mampu berperan ganda, didalam rumah tangga, di dalam masyarakat dan di dunia kerja, selain laki-laki. Kondisi kualitas profesionalisme  rata-rata birokrasi masih belum memuaskan, salah satu penyebabnya adalah karena praktik manajemen kepegawaian yang belum benar  atau menyimpang dari prinsip-prinsip quality control manajemen sumber daya manusia. Padahal dari semua pakar manajemen yang berpengaruh selalu mengingatkan hal yang sangat mendasar, sumber daya manusia merupakan  subjek sekaligus objek dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan dan pembangunan pada abad modern dengan pendekatan efektivitas yang lebih: efisien, demokratis, terbuka, dan rasional.[8]
Untuk mencapai kualifikasi kapasitas yang sama-sama dibutuhkan, maka birokrat sebagai salah satu unsur kekuatan daya saing bangsa, bahkan sebagai penentu utamanya, harus memiliki kompetensi dan kinerja tinggi demi pencapaian tujuan, tidak saja profesionalitas  dan pembangunan citra pelayanan publik, tetapi juga sebagai perekat pemersatu bangsa. Jumlah perempuan Indonesia yang melebihi separuh penduduk Indonesia apabila didukung oleh kualitas  yang tinggi, akan merupakan potensi produktif dan menjadi modal bagi pembangunan. Pada hakekatnya sasaran program pembangunan perempuan diarahkan untuk mengembangkan dan menantang berbagai potensi yang ada pada diri perempuan yang memungkinkan dirinya dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki terhadap sumber daya pembangunan.[9]
Saat ini dapat dilihat kiprah perempuan Indonesia dalam berbagai peran dan posisi strategis. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia merupakan sumber daya potensial, apabila ditingkatkan kualitasnya dan diberikan peluang kesempatan yang sama untuk berperan. Meskipun berbagai kemajuan peran perempuan telah berhasil di capai, namun saat ini persentasi jumlah perempuan yang berhasil menduduki posisi strategis sebagai pengambil keputusan masih sangat kecil.[10] Rendahnya jumlah perempuan duduk di jabatan tinggi ini terkendala dengan tidak adanya kebijakan Affirmative Action oleh pemerintah untuk menempatkan perempuan duduk dijabatan strategis itu. Oleh karena itu dalam perkembangan birokrasi di Indonesia dan berbagai hambatan perempuan untuk beraktifitas di birokrasi maka muncul permasalahan dalam makalah ini yaitu: Bagaimakah Kebijakan Affirmative Action Dalam Perkembangan Perempuan Indonesia Di Birokrasi?
Kerangka Teori
Affirmative action dapat diartikan sebagai “A policy or a program for correcting the effects of past discrimination through active measures to ensure equal opportunity in the employment or education of member of certain groups, as women, black, etc”.[11] (Kebijakan atau program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi di masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin terciptanya kesempatan yang setara, misalnya di dalam pekerjaan maupun pendidikan di kalangan tertentu seperti perempuan, kaum kulit hitam dan lainnya).
Menurut Carol Lee Bacchi tujuan dari program affirmative action adalah untuk menguatkan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan nontradisional, yaitu pekerjaan yang secara tradisional dikerjakan oleh laki-laki, dan untuk meningkatkan akses mereka pada posisi-posisi yang mendapatkan upah dan status lebih tinggi. Ini berarti hilangnya praktek kursus pelatihan, review bagi prosedur personel untuk mengeluarkan kelompok-kelompok yang didasarkan pada praktek diskriminasi, setting untuk mencapai keterwakilan sesuai dengan kelompok yang dituju, dan paling kontroversial yaitu mentargetkan perekrutan, mempromosikan, terkadang dengan kuota.[12]
Affirmative action adalah kebijakan khusus yang bersifat sementara dari sejumlah kebijakan untuk meningkatkan peran serta perempuan di dunia sosial, ekonomi dan politik.  Pippa Norris menyatakan setidaknya ada tiga hambatan bagi perempuan dalam dunia politik untuk mencapai kedudukan yang sama dengan pria yakni:[13]
1. Hambatan struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial.
2. Hambatan institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, sistem pemilu
3. Hambatan kultural yakni budaya politik patriarkhi, dan pandangan masyarakat terhadap isu gender dalam politik.

Pembahasan
Manusia merupakan faktor paling menentukan dalam setiap organisasi, termasuk dalam hal birokrasi pemerintah. Birokrasi ini dikendalikan sumber daya aparaturnya sebagai birokrat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pembangunan perempuan dapat dilihat dari kiprah perempuan Indonesia dalam berbagai peran dan posisi strategis. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia merupakan sumber daya potensial apabilah ditingkatkan kualitasnya dan diberikan peluang kesempatan yang sama untuk berperan. Untuk menghapuskan kendala yang menjadi hambatan utama optimalisasi peran perempuan Indonesia, dan upaya antisipasi terhadap perkembangan kemajuan global yang sangat cepat dan penuh persaingan tajam, maka telah ditetapkan paradigm dalam pemberdayaan perempuan. Adapun perubahan paradigma tersebut pada hakekatnya adalah pembangunan berwawasan gender di semua aspek kehidupan yaitu kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa fakta menyangkut Affirmative action dalam representasi perempuan di dalam birokrasi pemerintahan. Sebagaimana Pippa Norris menyatakan setidaknya ada tiga hambatan bagi perempuan dalam dunia politik untuk mencapai kedudukan yang sama dengan pria yakni: Hambatan struktural, Hambatan institusional, Hambatan cultural. Ketiga fakta menyangkut representasi perempuan di dalam birokrasi pemerintahan yaitu:
Pertama, perempuan sulit meraih posisi tertinggi karier birokrasi karena status keperempuanannya. Dalam tata kelola pemerintahan lokal, terutama di daerah, sangat sulit atau bahkan mustahil perempuan mampu berkompetisi meraih jabatan puncak birokrasi. Penyebabnya, kultur feodalisme dan patriarki yang masih menjadi domain kekuasaan kaum laki-laki. Perempuan kiprahnya selalu dipersoalkan dalam tatanan masyarakat yang masih memegang budaya patriarki. Perempuan sering kali dianggap sebagai pelengkap dalam berbagai aktivitas dan relasi sosial. Perempuan tidak pernah direstui tampil menjadi pemimpin dalam bidang kerja yang digeluti. Demokrasi yang memungkinkan adaptasi nilai-nilai kesetaraan jender di ruang publik, penerapannya masih berjalan setengah-setengah dalam menyetarakan posisi perempuan dengan laki-laki. Perempuan tetap mengalami fase marjinalisasi di ruang publik.
Dalam lingkup birokrasi, perempuan masih dianggap sebagai kanca wingking dalam relasi kerja yang masih kentara menempatkan dominasi peran laki-laki. Wujudnya, acap kali karier perempuan buntu ketika menjelajahi jalan menuju pucuk pimpinan birokrasi. Hanya sedikit perempuan yang mampu menapak menjadi kandidat pemimpin di lingkungan birokrasi pemerintahan, apalagi menjadi pimpinannya. Hal tersebut menjadi persoalan dalam mengakomodasi program kesetaraan jender dalam tata kelola pemerintahan.
Kedua, secemerlang karier dan sekeras apa pun kerja perempuan, masih tidak dianggap ”pas” dan ideal apabila menjadi sosok pemimpin dalam birokrasi. Stereotip jender menempatkan perempuan seolah tidak memiliki karakter yang kuat dan mumpuni sebagai pemimpin. Perempuan diidealkan sekadar sebagai pamong praja yang mengurusi persoalan administrasi. Ketiga, perempuan terhambat persoalan ”biologis” dan definisi seksualitasnya karena konstruksi sosial menyebabkan waktu mereka sering tersita oleh problem domestik. Hal tersebut dianggap sebagai kendala meraih jenjang karier bagi perempuan.[14]
Banyak daerah pada era otonomi daerah belum mengakomodasi program tata kelola pemerintahan lokal yang berparadigma keadilan jender. Andaipun paradigma tata kelola pemerintahan lokal dan birokrasi dijalani mendekati gagasan keadilan jender, praktiknya masih setengah hati. Tidak ada keikhlasan dari para laki-laki yang lebih mendominasi jenjang karier memberi ”jalan tol” bagi pemuliaan karier perempuan.
Penelitian lembaga Kemitraan (Partnership For Governance Reform) tahun 2003 tentang jender dan tata kelola pemerintahan lokal menyajikan data ironis. Perempuan bisa mencapai karier politik birokrasi melalui kompetisi demokratik semacam pemilihan kepala daerah langsung (pilkadasung), tetapi tidak mungkin—sangat jarang—mampu meraih puncak karier sebagai pemimpin administrasi dan kebijakan pemerintahan di daerah. Dengan kata lain, banyak perempuan bisa meraih posisi sebagai bupati/gubernur/wali kota melalui pilkada langsung, tetapi sedikit atau minimal yang bisa menjadi sekretaris daerah.[15] Hal tersebut menunjukkan, perempuan dalam lingkup kerja birokrasi di banyak daerah belum dianggap sebagai mitra sejajar, melainkan sebagai saingan para abdi negara berkelamin laki-laki. Kultur kesetaraan yang substansial dan bukan wacana belum dijalani oleh tata kelola birokrasi walaupun masyarakat pemilih tak melihat ada kendala perempuan menjadi pemimpin.
Birokrasi yang memiliki ikatan sejarah kolonialis mataraman masih mengedepankan superioritas laki-laki. Masih kuat anggapan tidak adil jender di daerah bahwa laki-laki adalah pemimpin, memiliki kekuatan mengendalikan berbagai sumber daya manusia, dan memiliki talenta kepemimpinan birokrasi yang jauh lebih unggul dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut akan memandulkan potensi dan ekspresi talenta kepemimpinan perempuan. Sudah waktunya situasi tersebut diakhiri dengan perubahan kultur dan kebijakan struktural yang pro keadilan jender. Kultur kesetaraan adalah keniscayaan apabila masyarakat dan para pengelola negara memiliki keinginan kuat memajukan fungsi birokrasi sebagai institusi pengemban amanat pelayanan publik.
Semangat pelayanan publik sendiri dalam dimensi filosofis sangat selaras dengan karakter perempuan. Perempuan adalah sosok kolektif yang memiliki jiwa pamomong yang bisa ”mengasuh” apa yang ditempatkan sebagai kepentingan masyarakat. Perempuan sebagai pemimpin birokrasi administrasi memiliki nilai lebih karena mampu memahami apa yang dinamakan perasaan publik. Perasaan publik tentang kepuasan akan pelayanan birokrasi yang menjadi salah satu tolok ukur persepsi kinerja birokrasi dalam pandangan masyarakat mengenai tata kelola pemerintahan era otonomi daerah. Berikut tabel perbandingan Perempuan dan Laki-laki sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan umur.
Dari angka-angka tersebut, walupun terlihat adanya trend ke depan yang memberikan ruang bagi kaum perempuan untuk lebih beraktualisasi, namun Nampak pula bahwa masih ada problem ketidaksetaraan kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan yang ditandai dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data-data berikut.
Mencermati data-data yang menggambarkan aktualisasi kaum perempuan khususnya dalam jajaran birokrasi pemerintahan walaupun peluang perempuan perempuan untuk menduduki jabatan secara prosentase masih relative rendah, namun terlihat pula adanya trend kedepan yang secara actual maupun normative ternyata memberikan peluang nyata bagi kaum perempuan untuk dapat beraktualisasi secara lebih luas. 
Jika demikian apa yang diperlukan, satu diantaranya adalah kaderisasi. Kebutuhan untuk mempersiapkan kader perempuan yang diperlukan berlandaskan pada modal dasarnya sebagai professionalis birokrat atau birokrat spesialis pada jajaran pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan atas kader yang baik ini maka diperlukan peningkatan tingkat pendidikan bagi perempuan yang menjadi birokrat, berikut data pegawai berdasarkan tingkat pendidikannya.
Dari data diatas dapat dilihat sudah ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang menjadi birokrasi dilihat dari tingkat pendidikannya. Namun jumlah perempuan yang berpendidiakan Strata II dan Strata III  masih sangat kurang dibandingkan laki-laki. Kurangnya perempuan di birokrasi yang berpendidikan Strata II dan Strata III ini membuktikan bahwa masih sedikitnya keberadaan perempuan yang menjabat jabatan tinggi didalam struktur birokrasi. Oleh karena itu diperlukannya kesetaran kader laki-laki dan perempuan yang baik agar sesuai dengan esensi kebijakan afirmatif yaitu mengeliminasi prasangka, pengucilan, dan pengabaian yang melahirkan diskriminasi melalui perlakuan yang adil dan fair. Kebijakan afirmatif merupakan langkah proaktif dan progresif untuk menghapus perlakuan diskriminasi dengan menilai dan menghargai seseorang berdasarkan keahlian atau kemampuan individual, bukan persepsi stereotip yang menipu.[16]
Dalam konteks jender, kebijakan afirmatif tidak sama-sebangun dengan pemberian preferensi, apalagi hak-hak istimewa, kepada kaum perempuan. Kebijakan afirmatif juga tak berarti memberi peluang kaum medioker (second best groups) untuk menempati posisi tertentu atas nama keterwakilan. Untuk bisa menduduki jabatan publik, kriteria dasar seperti kualitas, kompetensi, dan keahlian harus menjadi persyaratan mutlak bagi laki-laki maupun perempuan. Jadi, kebijakan afirmatif dimaksudkan untuk membuka peluang yang sama dan perlakuan setara bagi siapa pun, berprinsip equal opportunity dengan menghargai dan mengakui keragaman latar belakang sosial budaya untuk berkompetisi secara sehat dan terbuka dalam memperebutkan posisi di arena publik.
Penutup
Setelah beberapa zaman telah dilewati dan diperjuangkan oleh wanita demi kesetaraan derajat dan kedudukan. Maka wanita berhak menduduki suatu jabatan di manapun yang mempunyai penghargaan atas mereka. Ada peran penting yang dimainkan oleh wanita terhadap aktivitas kehidupan Bangsa dan peran tersebut telah dibuktikan sendiri oleh beberapa aktivis wanita. Birokrasi sendiri termasuk wilayah kaum wanita yang dahulu dianggap tabu oleh para laki-laki, tetapi sekarang wanita mendominasi hampir semua aspek birokrasi. Nyatanya wanita lebih baik dalam melakukan pekerjaan birokrasi yang menyangkut masyarakat luas, karena wanita lebih cenderung sifat yang lembut dalam melakukan aktivitas pekerjaan.
Kesetaraan gender (gender equality) adalah keadaan dimana perempuan dan laki-laki menikmati status dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak azasinya secara penuh dan sama-sama berpotensi dalam menyumbangkannya dalam pembangunan. Kesetaraan adalah penilaian yang sama oleh masyarakat terhadap persamaan dan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran yang mereka lakukan. Program pemberdayaan perempuan ke depan, memang tidak mungkin berlangsung dan di usahakan secara terencana dan terarah tanpa melanjutkan upaya kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Menyadari pentingnya hubungan kemitra sejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, sejak awal perencanaan program sudah harus memperhatikan aspirasi dan kepentingan serta peran laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dalam pembangunan di segala bidang dan di tingkatkan.[17]
Pembangunan nasional yang pada hakekatnya membangun manusia Indonesia seutuhnya, menghadapi permasalahan kebutuhan, kepentingan dan  harapan  yang  berbeda.  Permasalahan tersebut sering bersumber tidak saja pada perbedaan kedudukan melainkan juga pada adanya perbedaan antara fungsi serta peranan perempuan dan laki-laki. Fungsi berdasarkan penilaian ”pantas” dan “tidak pantas” bagi perempuan atau laki-laki. Hal itu bertumpu pada kebebasan masyarakat di berbagai daerah masing-masing, perbedaan yang bervariasi bagi kelompok masyarakat ataupun daerah yang berbeda. Dengan perkataan lain, perbedaan tersebut mengikuti rekayasa masyarakat yang dapat sama atau berbeda-beda menurut dinamika perkembangan wilayah dan daerah, dari waktu ke waktu.[18]
Kebijakan affirmative action terhadap perempuan di Indonesia sudah mulai meningkat, dimana dapat dilihat dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan di birokrasi. Meskipun demikian keberadaan perempuan di birokrasi belum banyak yang berada di jabatan tinggi, padahal dengan keberadaanya perempuan duduk dijabatan tinggi dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat dalam rangka memahami apa yang dinamakan perasaan publik. Perasaan publik tentang kepuasan akan pelayanan birokrasi yang menjadi salah satu tolok ukur persepsi kinerja birokrasi dalam pandangan masyarakat mengenai tata kelola pemerintahan.

Daftar Pustaka
Bylesjo, Cecilia & Julie Ballington, Laporan Konferensi: Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, International IDEA, Stockholm, 2003.
Edmond Jr, Alfred, 25 Years of Affirmative Action, Black Enterprise Magazine, February, 1995
Lee Bacchi, Carol, The Politics of Affirmative Action: ‘Women’, Equality and Category Politics, London: Sage Publications, 1993.
May Robinson, Kathryn & Sharon Bessell, Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2002.
Norris, Pippa & Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender, Race and Class in the British Parliament, Cambridge University Press, New York, 1995.
Sedarmayanti, Birokrasi dan Peran Kaum Perempuan, Jurnal Ilmu Administrasi No 1, Volume 1, 2004.
Yuliani, Sri, Pengembangan Karier Perempuan Di Birokrasi Publik: Tinjauan Dari  Perspektif Gender Surakarta: Jurnal  Pusat Studi Pengembangan Gender UNS WanodyaNo.16 Tahun XIV Tahun 2004.
Website
http://www.bkn.go.id/. Di akses 15 desember 2011, pukul  23.18 WIB.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/00430115/mitos.kebijakan.afirmatif.   diakses pada 23 Oktober 2011, pkl. 04.00 WIB.
http://nasional.kompas.com/read/2010/10/01/04453570/. Di akses 15 desember 2011, pukul  23.18 WIB.
http://ratuatut.com/artikel-resensi/opini/217-kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-birokrasi. Di akses 15 desember 2011, pukul  23.18 WIB.


[1] Sri Yuliani, Pengembangan Karier Perempuan Di Birokrasi Publik: Tinjauan Dari  Perspektif Gender (Surakarta: Jurnal  Pusat Studi Pengembangan Gender UNS WanodyaNo.16 Tahun XIV Tahun 2004).
[2] http://ratuatut.com/artikel-resensi/opini/217-kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-birokrasi. Di akses 15 desember 2011, pukul  23.18 WIB.
[3] Ibid.
[4] Cecilia Bylesjo & Julie Ballington, Laporan Konferensi: Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia (Stockholm: International IDEA, 2003), hlm. 3.
[5] Kathryn May Robinson & Sharon Bessell, Women in Indonesia: Gender, Equity and Development (Singapore:  Institute of Southeast Asian Studies, 2002), hlm. 6.
[6] Julia Suryakusuma, 1996 di dalam Kathryn May Robinson & Sharon Bessell, Women in Indonesia: Gender, Equity and Development (Singapore:  Institute of Southeast Asian Studies, 2002),  hlm. 3.
[7] Sedarmayanti, Birokrasi dan Peran Kaum Perempuan (Jurnal Ilmu Administrasi No 1, Volume 1, 2004), hlm. 82.
[8] Ibid. hlm. 76.
[9] Ibid., hlm. 77
[10] Ibid.
[11] Alfred Edmond Jr., 25 Years of Affirmative Action (Black Enterprise Magazine, February, 1995), hlm. 155
[12] Carol Lee Bacchi, The Politics of Affirmative Action: ‘Women’, Equality and Category Politics (London: Sage Publications, 1993), hlm. 15
[13] Pippa Norris & Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender, Race and Class in the British Parliament (New York: Cambridge University Press, 1995), hlm. 242.
[14] http://nasional.kompas.com/read/2010/10/01/04453570/. Di akses 15 desember 2011, pukul  23.18 WIB.
[15] Ibid.
[16]Amich Alhumami, Mitos Kebijakan Afirmatif, bersumber dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/00430115/mitos.kebijakan.afirmatif,  diakses pada 23 Oktober 2011, pkl. 04.00 WIB.
[17] Sedarmayanti, lock cit…, hlm. 81
[18] Ibid.,