Pendahuluan
Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di
hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah : publik maupun
privat, domestik-reproduktif maupun produktif. Dalam organisasi publik dapat
dikatakan perempuan berada pada posisi
termarjinalkan. Sistem budaya
patriarkal yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia
kerja) sebagai wilayah laki-laki, biasa
dituding sebagai faktor penyebab utama mengapa
kiprah perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki.[1]
De Beauvoir memaparkan, penindasan terhadap perempuan itu ada karena
perempuan bekerja tetap diharapkan memainkan peran sebagai istri dan ibu. Kedua
peran itu menuntut kewajiban yang berhubungan dengan urusan domestik. Bagi
perempuan, bekerja merupakan salah satu cara menunjukkan eksistensi dirinya di
tengah masyarakat. Feminisme eksistensialis menganggap bahwa dengan bekerja,
perempuan menolak menjadi objek. De Beauvoir menyebut empat strategi perempuan
untuk dapat mengaktualisasikan, yaitu bekerja, menjadi intelektual, menjadi
transformator dalam masyarakat, dan menolak internalisasi sebagai objek dalam
bentuk apa pun.[2]
Perempuan yang sedang meniti karier selalu berupaya mengatasi hambatan dan
kegagalan yang dia hadapi sementara biasanya untuk kegiatan domestik mendapat
bantuan orang lain, seperti menitipkan anak kepada orangtua atau pekerja rumah
tangga. Bagi Eisenstein, adanya reformasi pada birokrasi tidak hanya adanya
perempuan di level atas struktur, tetapi harus ada keterlibatan perempuan dalam
penyusunan kembali institusionalisasi yang ada yang berkaitan dengan peran
jender. Adanya hirarki wewenang dalam birokrasi sangat bertentangan dengan ide
dasar feminisme, yaitu demokrasi. Posisi perempuan yang masih didominasi
laki-laki akan mereproduksi masyarakat patriarki jika tidak diberi perspektif
perempuan.[3]
Seperti kebanyakan perempuan di penjuru dunia lainnya, kondisi dan posisi
perempuan Indonesia di organisasi publik dapat dikatakan memprihatinkan. Banyak
data dan fakta menunjukkan adanya kesenjangan dan diskriminasi gender dalam
lembaga negara, baik lembaga politik maupun birokrasi.
Permasalahan
Perempuan Indonesia dimulai pada masa era Kartini yang menjadi semangat
untuk melakukan sebuah tindakan yang disebut emansipasi wanita. Dari masa
inilah Indonesia mulai mengenal akan pentingnya sosok wanita yang
memperjuangkan pendidikan untuk para minoritas pada zaman dahulu, tetapi zaman
telah berubah dan wanita pun bisa melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum
laki-laki.
Konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination
Against Women – CEDAW) telah diterima dan disahkan oleh Dewan Umum PBB pada
tahun 1979. Lebih dari 30 tahun sejak
diakuinya konvensi tersebut secara internasional, lebih dari 170 negara di
dunia telah meratifikasinya. Konvensi ini bisa menjadi landasan untuk
mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang
yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan
mencalonkan diri.[4]
Di sisi lain HAM dan Gender merupakan isu yang sangat sering diperbincangkan
saat ini, mengingat perempuan memiliki suara banyak serta kemampuan yang
setara. Persoaalan yang begitu bias yang nampak bagian dari kehidupan suatu
berbangsa dan bernegara. Namun jika dikaji lebih dalam mengenai gender akan
lebih dirinci sebab ia memiliki akar dalam struktur sosial yang berlangsung
cukup lama. Pembagian peran publik untuk laki-laki dan privat untuk perempuan,
telah menggejala dan menjadi bagian di aneka belahan dunia.
Indonesia meratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak politik perempuan pada
masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. Sementara CEDAW
diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1984. Saparinah Sadli
menyelenggarakan forum diskusi mengenai pentingnya Konvensi Perempuan sebagai
instrumen untuk melakukan lobi untuk perubahan selama periode pemerintahan Orde
Baru. Saparinah kemudian mendirikan Kelompok Kerja Pengawas Konvensi pada tahun
1994 bersama dengan sejumlah kaum feminis, untuk mempromosikan hak-hak
perempuan dan advokasi untuk implementasi penuh dari Konvensi Perempuan. Proses
ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie pada tahun 1999,
dengan meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi
Perempuan.[5]
Namun fakta yang muncul, selama puluhan tahun semenjak kemerdekaan NKRI,
perempuan Indonesia tetap selalu menghadapi hambatan di dalam lingkungan publik
dan ranah pribadi, di mana secara politik, hukum, sosial, budaya dan ekonomi
sering mendapatkan ketimpangan perlakuan. Ketidaksetaraan perlakukan pada kaum
perempuan tertanam secara terstruktur di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan
pada era Orde Baru, hubungan dan peranan jender menjadi dimensi yang sangat
penting dalam kerangka kontrol pemerintah. Ranah publik dan ranah pribadi
secara tegas dan dibuat terpisah, dengan peran perempuan lebih ditekankan pada
ranah pribadi. Idealitas perempuan pada masa Orde Baru adalah sebagai istri dan
ibu rumah tangga. Doktrin ideologi ini bahkan sampai dikemukakan dalam
terminologi “ibuisme negara”.[6]
Ruang publik tidak selamanya nyaman bagi perempuan. Ruang publik acapkali
menempatkan perempuan dalam kondisi keterpaksaan. Serangkaian norma, peraturan
hingga alasan religius secara sadar atau tidak telah menjadi jeruji bagi
perempuan. Bukan berarti jeruji keterpaksaan itu selalu menyiksa. Ada pula
perempuan yang berserah dan lantas menikmati saja keterpaksaannya di ruang
publik. Perkembangan selalu membawa perubahan. Dinamika pembangunan membawa
dampak pada nilai dan norma yang berlaku, adat istiadat, kebiasaan pandangan
serta sikap perilaku individu maupun kelompok. Dalam tahap pembangunan sekarang
makin dirasakan tuntutan peran aktif laki-laki dan perempuan. Kemitra sejajaran
dapat terwujud apabilah kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan sudah merupakan kenyataan. Hal ini bukan hal baru karena sudah ada
dalam kelompok masyarakat tertentu.[7]
Kesamaan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan yang di butuhkan dalam
pembangunan nasional. Oleh kerena itu, perempuan makin diharapkan mau dan mampu
berperan ganda, didalam rumah tangga, di dalam masyarakat dan di dunia kerja,
selain laki-laki. Kondisi kualitas profesionalisme rata-rata birokrasi masih belum memuaskan,
salah satu penyebabnya adalah karena praktik manajemen kepegawaian yang belum
benar atau menyimpang dari prinsip-prinsip
quality control manajemen sumber daya manusia. Padahal dari semua pakar
manajemen yang berpengaruh selalu mengingatkan hal yang sangat mendasar, sumber
daya manusia merupakan subjek sekaligus
objek dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan dan pembangunan pada
abad modern dengan pendekatan efektivitas yang lebih: efisien, demokratis,
terbuka, dan rasional.[8]
Untuk mencapai kualifikasi kapasitas yang sama-sama dibutuhkan, maka
birokrat sebagai salah satu unsur kekuatan daya saing bangsa, bahkan sebagai
penentu utamanya, harus memiliki kompetensi dan kinerja tinggi demi pencapaian
tujuan, tidak saja profesionalitas dan
pembangunan citra pelayanan publik, tetapi juga sebagai perekat pemersatu
bangsa. Jumlah perempuan Indonesia yang melebihi separuh penduduk Indonesia
apabila didukung oleh kualitas yang
tinggi, akan merupakan potensi produktif dan menjadi modal bagi pembangunan.
Pada hakekatnya sasaran program pembangunan perempuan diarahkan untuk mengembangkan
dan menantang berbagai potensi yang ada pada diri perempuan yang memungkinkan
dirinya dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki
terhadap sumber daya pembangunan.[9]
Saat ini dapat dilihat kiprah perempuan Indonesia dalam berbagai peran dan
posisi strategis. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa perempuan
Indonesia merupakan sumber daya potensial, apabila ditingkatkan kualitasnya dan
diberikan peluang kesempatan yang sama untuk berperan. Meskipun berbagai
kemajuan peran perempuan telah berhasil di capai, namun saat ini persentasi
jumlah perempuan yang berhasil menduduki posisi strategis sebagai pengambil
keputusan masih sangat kecil.[10] Rendahnya jumlah perempuan duduk di jabatan
tinggi ini terkendala dengan tidak adanya kebijakan Affirmative Action oleh pemerintah
untuk menempatkan perempuan duduk dijabatan strategis itu. Oleh karena itu
dalam perkembangan birokrasi di Indonesia dan berbagai hambatan perempuan untuk
beraktifitas di birokrasi maka muncul permasalahan dalam makalah ini yaitu:
Bagaimakah Kebijakan Affirmative Action Dalam Perkembangan Perempuan Indonesia
Di Birokrasi?
Kerangka Teori
Affirmative action dapat diartikan sebagai “A policy or a program for
correcting the effects of past discrimination through active measures to ensure
equal opportunity in the employment or education of member of certain groups,
as women, black, etc”.[11] (Kebijakan atau program yang berusaha untuk
memperbaiki tindakan diskriminasi di masa lalu melalui tindakan aktif untuk
menjamin terciptanya kesempatan yang setara, misalnya di dalam pekerjaan maupun
pendidikan di kalangan tertentu seperti perempuan, kaum kulit hitam dan
lainnya).
Menurut Carol Lee Bacchi tujuan dari program affirmative action adalah
untuk menguatkan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan nontradisional, yaitu
pekerjaan yang secara tradisional dikerjakan oleh laki-laki, dan untuk
meningkatkan akses mereka pada posisi-posisi yang mendapatkan upah dan status
lebih tinggi. Ini berarti hilangnya praktek kursus pelatihan, review bagi
prosedur personel untuk mengeluarkan kelompok-kelompok yang didasarkan pada
praktek diskriminasi, setting untuk mencapai keterwakilan sesuai dengan
kelompok yang dituju, dan paling kontroversial yaitu mentargetkan perekrutan,
mempromosikan, terkadang dengan kuota.[12]
Affirmative action adalah kebijakan khusus yang bersifat sementara dari
sejumlah kebijakan untuk meningkatkan peran serta perempuan di dunia sosial,
ekonomi dan politik. Pippa Norris
menyatakan setidaknya ada tiga hambatan bagi perempuan dalam dunia politik
untuk mencapai kedudukan yang sama dengan pria yakni:[13]
1. Hambatan struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial.
2. Hambatan institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, sistem
pemilu
3. Hambatan kultural yakni budaya politik patriarkhi, dan pandangan
masyarakat terhadap isu gender dalam politik.
Pembahasan
Manusia merupakan faktor paling menentukan dalam setiap organisasi,
termasuk dalam hal birokrasi pemerintah. Birokrasi ini dikendalikan sumber daya
aparaturnya sebagai birokrat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Pembangunan perempuan dapat dilihat dari kiprah perempuan Indonesia dalam
berbagai peran dan posisi strategis. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa
perempuan Indonesia merupakan sumber daya potensial apabilah ditingkatkan
kualitasnya dan diberikan peluang kesempatan yang sama untuk berperan. Untuk
menghapuskan kendala yang menjadi hambatan utama optimalisasi peran perempuan
Indonesia, dan upaya antisipasi terhadap perkembangan kemajuan global yang
sangat cepat dan penuh persaingan tajam, maka telah ditetapkan paradigm dalam
pemberdayaan perempuan. Adapun perubahan paradigma tersebut pada hakekatnya
adalah pembangunan berwawasan gender di semua aspek kehidupan yaitu kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa fakta menyangkut Affirmative action dalam representasi
perempuan di dalam birokrasi pemerintahan. Sebagaimana Pippa Norris menyatakan
setidaknya ada tiga hambatan bagi perempuan dalam dunia politik untuk mencapai
kedudukan yang sama dengan pria yakni: Hambatan struktural, Hambatan
institusional, Hambatan cultural. Ketiga fakta menyangkut representasi
perempuan di dalam birokrasi pemerintahan yaitu:
Pertama, perempuan sulit meraih posisi tertinggi karier birokrasi karena
status keperempuanannya. Dalam tata kelola pemerintahan lokal, terutama di
daerah, sangat sulit atau bahkan mustahil perempuan mampu berkompetisi meraih
jabatan puncak birokrasi. Penyebabnya, kultur feodalisme dan patriarki yang
masih menjadi domain kekuasaan kaum laki-laki. Perempuan kiprahnya selalu
dipersoalkan dalam tatanan masyarakat yang masih memegang budaya patriarki.
Perempuan sering kali dianggap sebagai pelengkap dalam berbagai aktivitas dan
relasi sosial. Perempuan tidak pernah direstui tampil menjadi pemimpin dalam
bidang kerja yang digeluti. Demokrasi yang memungkinkan adaptasi nilai-nilai
kesetaraan jender di ruang publik, penerapannya masih berjalan
setengah-setengah dalam menyetarakan posisi perempuan dengan laki-laki.
Perempuan tetap mengalami fase marjinalisasi di ruang publik.
Dalam lingkup birokrasi, perempuan masih dianggap sebagai kanca wingking
dalam relasi kerja yang masih kentara menempatkan dominasi peran laki-laki.
Wujudnya, acap kali karier perempuan buntu ketika menjelajahi jalan menuju
pucuk pimpinan birokrasi. Hanya sedikit perempuan yang mampu menapak menjadi
kandidat pemimpin di lingkungan birokrasi pemerintahan, apalagi menjadi
pimpinannya. Hal tersebut menjadi persoalan dalam mengakomodasi program
kesetaraan jender dalam tata kelola pemerintahan.
Kedua, secemerlang karier dan sekeras apa pun kerja perempuan, masih tidak
dianggap ”pas” dan ideal apabila menjadi sosok pemimpin dalam birokrasi.
Stereotip jender menempatkan perempuan seolah tidak memiliki karakter yang kuat
dan mumpuni sebagai pemimpin. Perempuan diidealkan sekadar sebagai pamong praja
yang mengurusi persoalan administrasi. Ketiga, perempuan terhambat persoalan
”biologis” dan definisi seksualitasnya karena konstruksi sosial menyebabkan
waktu mereka sering tersita oleh problem domestik. Hal tersebut dianggap
sebagai kendala meraih jenjang karier bagi perempuan.[14]
Banyak daerah pada era otonomi daerah belum mengakomodasi program tata
kelola pemerintahan lokal yang berparadigma keadilan jender. Andaipun paradigma
tata kelola pemerintahan lokal dan birokrasi dijalani mendekati gagasan
keadilan jender, praktiknya masih setengah hati. Tidak ada keikhlasan dari para
laki-laki yang lebih mendominasi jenjang karier memberi ”jalan tol” bagi
pemuliaan karier perempuan.
Penelitian lembaga Kemitraan (Partnership For Governance Reform) tahun 2003
tentang jender dan tata kelola pemerintahan lokal menyajikan data ironis.
Perempuan bisa mencapai karier politik birokrasi melalui kompetisi demokratik
semacam pemilihan kepala daerah langsung (pilkadasung), tetapi tidak
mungkin—sangat jarang—mampu meraih puncak karier sebagai pemimpin administrasi
dan kebijakan pemerintahan di daerah. Dengan kata lain, banyak perempuan bisa
meraih posisi sebagai bupati/gubernur/wali kota melalui pilkada langsung, tetapi
sedikit atau minimal yang bisa menjadi sekretaris daerah.[15] Hal tersebut
menunjukkan, perempuan dalam lingkup kerja birokrasi di banyak daerah belum
dianggap sebagai mitra sejajar, melainkan sebagai saingan para abdi negara
berkelamin laki-laki. Kultur kesetaraan yang substansial dan bukan wacana belum
dijalani oleh tata kelola birokrasi walaupun masyarakat pemilih tak melihat ada
kendala perempuan menjadi pemimpin.
Birokrasi yang memiliki ikatan sejarah kolonialis mataraman masih
mengedepankan superioritas laki-laki. Masih kuat anggapan tidak adil jender di
daerah bahwa laki-laki adalah pemimpin, memiliki kekuatan mengendalikan
berbagai sumber daya manusia, dan memiliki talenta kepemimpinan birokrasi yang
jauh lebih unggul dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut akan memandulkan
potensi dan ekspresi talenta kepemimpinan perempuan. Sudah waktunya situasi
tersebut diakhiri dengan perubahan kultur dan kebijakan struktural yang pro
keadilan jender. Kultur kesetaraan adalah keniscayaan apabila masyarakat dan
para pengelola negara memiliki keinginan kuat memajukan fungsi birokrasi
sebagai institusi pengemban amanat pelayanan publik.
Semangat pelayanan publik sendiri dalam dimensi filosofis sangat selaras
dengan karakter perempuan. Perempuan adalah sosok kolektif yang memiliki jiwa
pamomong yang bisa ”mengasuh” apa yang ditempatkan sebagai kepentingan
masyarakat. Perempuan sebagai pemimpin birokrasi administrasi memiliki nilai
lebih karena mampu memahami apa yang dinamakan perasaan publik. Perasaan publik
tentang kepuasan akan pelayanan birokrasi yang menjadi salah satu tolok ukur
persepsi kinerja birokrasi dalam pandangan masyarakat mengenai tata kelola
pemerintahan era otonomi daerah. Berikut tabel perbandingan Perempuan dan
Laki-laki sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan umur.
Dari angka-angka tersebut, walupun terlihat adanya trend ke depan yang
memberikan ruang bagi kaum perempuan untuk lebih beraktualisasi, namun Nampak
pula bahwa masih ada problem ketidaksetaraan kepemimpinan perempuan dalam
pemerintahan yang ditandai dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data-data
berikut.
Mencermati data-data yang menggambarkan aktualisasi kaum perempuan
khususnya dalam jajaran birokrasi pemerintahan walaupun peluang perempuan
perempuan untuk menduduki jabatan secara prosentase masih relative rendah,
namun terlihat pula adanya trend kedepan yang secara actual maupun normative
ternyata memberikan peluang nyata bagi kaum perempuan untuk dapat beraktualisasi
secara lebih luas.
Jika demikian apa yang diperlukan, satu diantaranya adalah kaderisasi.
Kebutuhan untuk mempersiapkan kader perempuan yang diperlukan berlandaskan pada
modal dasarnya sebagai professionalis birokrat atau birokrat spesialis pada
jajaran pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan atas kader yang baik ini maka
diperlukan peningkatan tingkat pendidikan bagi perempuan yang menjadi birokrat,
berikut data pegawai berdasarkan tingkat pendidikannya.
Dari data diatas dapat dilihat sudah ada kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi birokrasi dilihat dari tingkat pendidikannya. Namun
jumlah perempuan yang berpendidiakan Strata II dan Strata III masih sangat kurang dibandingkan laki-laki.
Kurangnya perempuan di birokrasi yang berpendidikan Strata II dan Strata III
ini membuktikan bahwa masih sedikitnya keberadaan perempuan yang menjabat
jabatan tinggi didalam struktur birokrasi. Oleh karena itu diperlukannya
kesetaran kader laki-laki dan perempuan yang baik agar sesuai dengan esensi
kebijakan afirmatif yaitu mengeliminasi prasangka, pengucilan, dan pengabaian
yang melahirkan diskriminasi melalui perlakuan yang adil dan fair. Kebijakan
afirmatif merupakan langkah proaktif dan progresif untuk menghapus perlakuan
diskriminasi dengan menilai dan menghargai seseorang berdasarkan keahlian atau
kemampuan individual, bukan persepsi stereotip yang menipu.[16]
Dalam konteks jender, kebijakan afirmatif tidak sama-sebangun dengan
pemberian preferensi, apalagi hak-hak istimewa, kepada kaum perempuan.
Kebijakan afirmatif juga tak berarti memberi peluang kaum medioker (second best
groups) untuk menempati posisi tertentu atas nama keterwakilan. Untuk bisa
menduduki jabatan publik, kriteria dasar seperti kualitas, kompetensi, dan
keahlian harus menjadi persyaratan mutlak bagi laki-laki maupun perempuan.
Jadi, kebijakan afirmatif dimaksudkan untuk membuka peluang yang sama dan
perlakuan setara bagi siapa pun, berprinsip equal opportunity dengan menghargai
dan mengakui keragaman latar belakang sosial budaya untuk berkompetisi secara
sehat dan terbuka dalam memperebutkan posisi di arena publik.
Penutup
Setelah beberapa zaman telah dilewati dan diperjuangkan oleh wanita demi
kesetaraan derajat dan kedudukan. Maka wanita berhak menduduki suatu jabatan di
manapun yang mempunyai penghargaan atas mereka. Ada peran penting yang
dimainkan oleh wanita terhadap aktivitas kehidupan Bangsa dan peran tersebut
telah dibuktikan sendiri oleh beberapa aktivis wanita. Birokrasi sendiri
termasuk wilayah kaum wanita yang dahulu dianggap tabu oleh para laki-laki,
tetapi sekarang wanita mendominasi hampir semua aspek birokrasi. Nyatanya
wanita lebih baik dalam melakukan pekerjaan birokrasi yang menyangkut
masyarakat luas, karena wanita lebih cenderung sifat yang lembut dalam melakukan
aktivitas pekerjaan.
Kesetaraan gender (gender equality) adalah keadaan dimana perempuan dan
laki-laki menikmati status dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak
azasinya secara penuh dan sama-sama berpotensi dalam menyumbangkannya dalam
pembangunan. Kesetaraan adalah penilaian yang sama oleh masyarakat terhadap
persamaan dan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran yang
mereka lakukan. Program pemberdayaan perempuan ke depan, memang tidak mungkin
berlangsung dan di usahakan secara terencana dan terarah tanpa melanjutkan
upaya kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Menyadari pentingnya
hubungan kemitra sejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, sejak
awal perencanaan program sudah harus memperhatikan aspirasi dan kepentingan
serta peran laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dalam pembangunan di
segala bidang dan di tingkatkan.[17]
Pembangunan nasional yang pada hakekatnya membangun manusia Indonesia
seutuhnya, menghadapi permasalahan kebutuhan, kepentingan dan harapan
yang berbeda. Permasalahan tersebut sering bersumber tidak
saja pada perbedaan kedudukan melainkan juga pada adanya perbedaan antara
fungsi serta peranan perempuan dan laki-laki. Fungsi berdasarkan penilaian
”pantas” dan “tidak pantas” bagi perempuan atau laki-laki. Hal itu bertumpu
pada kebebasan masyarakat di berbagai daerah masing-masing, perbedaan yang
bervariasi bagi kelompok masyarakat ataupun daerah yang berbeda. Dengan
perkataan lain, perbedaan tersebut mengikuti rekayasa masyarakat yang dapat
sama atau berbeda-beda menurut dinamika perkembangan wilayah dan daerah, dari
waktu ke waktu.[18]
Kebijakan affirmative action terhadap perempuan di Indonesia sudah mulai
meningkat, dimana dapat dilihat dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan di
birokrasi. Meskipun demikian keberadaan perempuan di birokrasi belum banyak
yang berada di jabatan tinggi, padahal dengan keberadaanya perempuan duduk
dijabatan tinggi dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat dalam rangka memahami
apa yang dinamakan perasaan publik. Perasaan publik tentang kepuasan akan
pelayanan birokrasi yang menjadi salah satu tolok ukur persepsi kinerja
birokrasi dalam pandangan masyarakat mengenai tata kelola pemerintahan.
Daftar Pustaka
Bylesjo, Cecilia & Julie Ballington, Laporan Konferensi: Memperkuat
Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, International IDEA, Stockholm,
2003.
Edmond Jr, Alfred, 25 Years of Affirmative Action, Black Enterprise
Magazine, February, 1995
Lee Bacchi, Carol, The Politics of Affirmative Action: ‘Women’, Equality
and Category Politics, London: Sage Publications, 1993.
May Robinson, Kathryn & Sharon Bessell, Women in Indonesia: Gender,
Equity and Development, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2002.
Norris, Pippa & Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender, Race
and Class in the British Parliament, Cambridge University Press, New York,
1995.
Sedarmayanti, Birokrasi dan Peran Kaum Perempuan, Jurnal Ilmu Administrasi
No 1, Volume 1, 2004.
Yuliani, Sri, Pengembangan Karier Perempuan Di Birokrasi Publik: Tinjauan
Dari Perspektif Gender Surakarta:
Jurnal Pusat Studi Pengembangan Gender
UNS WanodyaNo.16 Tahun XIV Tahun 2004.
Website
http://www.bkn.go.id/. Di akses 15 desember 2011, pukul 23.18 WIB.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/00430115/mitos.kebijakan.afirmatif. diakses pada 23 Oktober 2011, pkl. 04.00
WIB.
http://nasional.kompas.com/read/2010/10/01/04453570/. Di akses 15 desember
2011, pukul 23.18 WIB.
http://ratuatut.com/artikel-resensi/opini/217-kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-birokrasi.
Di akses 15 desember 2011, pukul 23.18
WIB.
[1] Sri Yuliani, Pengembangan Karier Perempuan Di Birokrasi Publik:
Tinjauan Dari Perspektif Gender
(Surakarta: Jurnal Pusat Studi Pengembangan
Gender UNS WanodyaNo.16 Tahun XIV Tahun 2004).
[2]
http://ratuatut.com/artikel-resensi/opini/217-kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-birokrasi.
Di akses 15 desember 2011, pukul 23.18
WIB.
[3] Ibid.
[4] Cecilia Bylesjo & Julie Ballington, Laporan Konferensi: Memperkuat
Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia (Stockholm: International IDEA,
2003), hlm. 3.
[5] Kathryn May Robinson & Sharon Bessell, Women in Indonesia: Gender,
Equity and Development (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2002), hlm. 6.
[6] Julia Suryakusuma, 1996 di dalam Kathryn May Robinson & Sharon
Bessell, Women in Indonesia: Gender, Equity and Development (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002), hlm. 3.
[7] Sedarmayanti, Birokrasi dan Peran Kaum Perempuan (Jurnal Ilmu
Administrasi No 1, Volume 1, 2004), hlm. 82.
[8] Ibid. hlm. 76.
[9] Ibid., hlm. 77
[10] Ibid.
[11] Alfred Edmond Jr., 25 Years of Affirmative Action (Black Enterprise
Magazine, February, 1995), hlm. 155
[12] Carol Lee Bacchi, The Politics of Affirmative Action: ‘Women’,
Equality and Category Politics (London: Sage Publications, 1993), hlm. 15
[13] Pippa Norris & Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender,
Race and Class in the British Parliament (New York: Cambridge University Press,
1995), hlm. 242.
[14] http://nasional.kompas.com/read/2010/10/01/04453570/. Di akses 15
desember 2011, pukul 23.18 WIB.
[15] Ibid.
[16]Amich Alhumami, Mitos Kebijakan Afirmatif, bersumber dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/00430115/mitos.kebijakan.afirmatif, diakses pada 23 Oktober 2011, pkl. 04.00 WIB.
[17] Sedarmayanti, lock cit…, hlm. 81
[18] Ibid.,