Selasa, 22 Desember 2009

Sri Purnomo Targetkan Menang Satu Putaran

Tuesday, 22 December 2009 
SLEMAN(SI) –Kandidat calon Bupati Sleman mulai bermunculan.Setelah Sukamto dan Hafid Asram,Plt Bupati Sleman Sri Purnomo juga menyatakan ingin maju dalam Polkada 2010 mendatang.

Kemarin,Sri Purnomo mengambil formulir pendaftaran di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Koalisi Sembada. Dia mengandeng Wakil Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) DPD PDIP DIY Yuni Setya Rahayu sebagai calon wakil bupati.Sri Purnomo menargetkan menang satu putaran.

Menurut Sri Purnomo, untuk bisa memenangkan pilkada satu putaran pihaknya berupaya menggabungkan kekuatan PDIP dan Koalisi Sembada yang dimotori oleh PAN, Gerindra, Hanura dan PDP.”Untuk menang satu putaran butuh koalisi yang besar,” tandasnya eusai mengambil formulir di Kantor PDIP Sleman kemarin. Pemilihan Nina,panggilan akrab Yuni Setya Rahayu,menurutnya, menjadi skenario utama untuk memenangkan proses penjaringan bakal calon di PDIP.

”Kalau mau menang di PDIP yaharus nggandeng orang PDIP,” tambahnya. Mengenai syarat harus membawa dukungan 1.000 orang untuk mendaftar ke PDIP, Sri Purnomo mengaku sudah mendapatkannya. Dukungan tersebut kemarin sudah terlihat dari bergabungnya pengurus PGRI Sleman dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Muhammadiyah serta sejumlah pengurus Muhammadiyah Sleman yang ikut mengantar mengambil formulir di PDIP dan Koalisi Sembada.

Sedangkan di Koalisi Sembada, dia juga merasa yakin akan mendapatkan dukungan penuh dari PAN. Sri Purnomo mengaku tidak mengkawatirkan persaingan dengan dua kandidat dari internal PAN Rohman Agus Sukamta (Wakil Ketua DPRD Sleman) dan Asiyah Rais (Ketua DPD PAN Sleman).

Wakil Ketua Bidang Infokom DPC PDIP Sleman Riyanto Kuncoro mengatakan,pihaknya tidak mempermasalah kan skenario penggabung Koalisi Sembada dan PDIP yang dicanangkan Sri Purnomo. Menurutnya, hal tersebut memang dapat dilakukan, jika memang pasangan tersebut akhirnya lolos dan direstui oleh DPP untuk dicalonkan pada Pilkada 2010 oleh PDIP nanti.

Diakuinya, skenario Sri Purnomo tersebut akan menjadi kekuatan yang perlu diperhitungkan calon lain jika benar-benar terjadi. ”Ini koalisi yang besar kalau benar-benar terjadi.Tetapi syaratnya pasangan ini harus mendapatkan restu dari DPP dan sebelumnya lolos dalam pembahasan Rakercabsus DPC,” tambahnya. Terpisah Koordinator Koalisi Sembada Sadar Narima mengatakan, hingga kemarin tiga orang tokoh internal di partainya sudah mengambil formulir.

Dengan demikian Rabu (23/12) hari ini pihaknya akan mencoba untuk melakukan pembicaraan dengan partai anggota koalisi lainnya mengenai penutupan proses pendaftaran caon bupati ini. ”Semuanya sudah mengambil berkas pendaftaran Senin lalu.Bu As (Asiyah Rais) sudah mengambil, tadi (kemarin) pagi Pak Agus ( R Agus Sukamta) dan siang ini Pak Sri (Sri Purnomo).Dan rencananya Rabu depan (hari ini) kita akan membahas wacana penutupan pendaftaran bersama dengan koalisi.

Karena rencananya pendaftaran calon bupati akan ditutup lebih cepat dibandingkan pendaftaran calon wakilnya,” tuturnya. Sementara PKS, kemarin telah berhasil memunculkan satu nama yakni Endri Nugraha Laksana yang akan diajukan menjadi Bupati Sleman periode 2010- 2015.Wakil Ketua DPRD Sleman tersebut ditetapkan dari pertemuan antara Tim Optimalisasi Musyarokah (TOM) PKS, TOM DPW PKS DIY dan DPP PKS. (maha deva)

Jumat, 30 Oktober 2009

President to visit Malaysia to discuss migrant worker issues

Friday, October 30, 2009 2:48
 

Erwida Maulia ,  The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Thu, 10/29/2009 1:13 PM  |  Headlines
President Susilo Bambang Yu-dhoyono will visit Malaysia in the near future following the recent death of an Indonesian migrant worker abused by her employer.
Presidential spokesman Dino Patti Djalal, told reporters Wednesday that issues surrounding the condition and fate of Indonesian migrant workers in Malaysia would be among things Yudhoyono would soon discuss with his Malaysian counterpart.
He stopped short of mentioning the specific date of the visit.
According to Dino, the President was "deeply concerned" over the death of Munti binti Bani, and believed that justice must be upheld in the case.
"Whatever her status, the alleged abuse that led to her death is a crime. The status is another problem.
"We hope the Malaysian government will take action against the perpetrators and put them on trial in accordance with Malaysian law," he said.
Muntik, from the East Java town of Jember, worked as a maid in Malaysia for six years before being submitted to Tengku Ampuan Rahimah Hospital in Selangor, where she died on Monday.
Munti was allegedly shaven bald, beaten with steel, and told to sleep inside a toilet, Antara state news agency reported.
The Malaysian police raided her employers' house and took her to hospital following a report from a Malaysian lawyer.
In a press statement sent to The Jakarta Post, the Malaysian government said it strongly condemned the abuse and pledged the case would be investigated thoroughly, and that perpetrators would be sentenced according to the law.
The Malaysian Foreign Ministry said the Malaysian government expressed its "deepest sympathy and condolences" to the family of Muntik and to Indonesians in general, and promised to take legal measures against the perpetrators.
"The Ministry of Foreign Affairs wishes to stress that the Government of Malaysia strongly condemns all forms of abuse against any workers, regardless of nationality or sector of employment.
"In this regard, the Ministry of Foreign Affairs wishes to assure that the Royal Malaysia Police as well as other relevant agencies will conduct an immediate and detailed investigation of the incident, and will hand out the necessary sentence to the perpetrators," the Malaysian ministry said.
In a related development, some 100 ex-migrant workers and activists staged a demonstration in front of the Malaysian Embassy on Wednesday, demanding justice in the latest death, and a permanent termination of supplying domestic workers to the country.
Anis Hidayah, executive director of Migrant Care, which organized the protest, said that during the visit the President had to ensure justice, and must stop sending domestic workers to the country following the failure of Malaysian authorities to thoroughly investigate similar cases in the past.
"So far, Malaysia has not been able to uphold justice in the cases of Siti Hajar, Modesta and Tjeriati, three domestic workers tortured to death in their workplaces over the past two years," she said.
The demonstrators also urged the President to have the labor agreement revised to ensure protection for more than four million Indonesians currently working in Malaysia.

Rabu, 28 Oktober 2009

Tanpa Mega, Sumpah Pemuda Tetap Khidmat

PDIP peringati Hari Sumpah Pemuda di DPP PDIP Lenteng Agung

VIVAnews – Megawati Soekarnoputri dan mayoritas petinggi PDIP tidak menghadiri peringatan Sumpah Pemuda ke-81 di kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta Selatan, Rabu 28 Oktober 2009. Kendati demikian acara ini tetap berlangsung sederhana dan khidmat.
Acara dibuka dengan atraksi pencak silat hasil binaan Taruna Merah Putih, organisasi kepemudaan PDIP.
Di pada puncak refleksi semangat pemuda ini, PDIP juga membagi-bagikan Megawati Soekarnoputri Award kepada sepuluh tokoh pemuda yang dinilai berprestasi di bidangnya.
Mereka yang menerima penghargaan ialah tokoh muda Nugie, Tri Utami, Angelique Wijaya, Chalid Muhammad, Sutta Dharmasaputra, Mira Lesmana, Hendri Saparini, Ade Rai, Anies Baswedan, dan Muchtar Muhammad.
Tina Talita, pemandu acara berita di stasiun tvone, membawakan refleksi tentang kepemudaan. Yaitu mendorong para pemuda merenungkan kembali semangat para pemuda yang digaungkan 81 tahun silam.
Pada masa itu mereka tidak memiliki fasilitas teknologi informasi secanggih sekarang. Namun para pemuda memiliki pandangan-pandangan jauh melebihi masanya. Mereka bersatu padu untuk merealisasikan kemerdekaan Indonesia yang dapat dirasakan hingga sekarang.
“Dulu itu tidak ada handphone, pemuda itu bisa berkumpul untuk mengadakan kongres sehingga lahir sumpah pemuda,” katanya.
Dalam refleksi, Tina Talita juga mengutip pernyataan terkenal John Quincy Adams Presiden Amerika serikat ke-6 (1825-1829).
“Jika tindakanmu menginspirasi orang lain untuk bermimpi lebih, belajar lebih, bertindak dan menjadi sesuatu yang lebih, kamu adalah seorang pemimpin. "
Nugie juga tampil memberikan pesan lewat lagu. Lagu ini dinyanyikannya untuk pertama kali dalam acara Sumpah Pemuda. Judulnya Indonesia Memimpin Dunia.
Lagu ini menceritakan bahwa Indonesia mampu jadi pemimpin dunia yang damai.
Artis Edo Kondologit dan Tri Utami juga ikut tampil. Tri Utami membawakan lagu berwarna eksistensialis. Lagu ini baru dia nyanyikan untuk pertama kalinya di acara ini. Judulnya ‘Perempuan.’
Lagu ini mengajak kaum perempuan jangan hanya menyerah pada keadaan begitu saja. Sebaliknya, harus mampu meraih kebanggaan sendiri.
Acara ini dihadiri sejumlah pengurus PDIP, di antaranya Sekretaris Jenderal Pramono Anung.

Sabtu, 24 Oktober 2009

Kontrak Politik SBY-PKS Ternyata soal "Jatah" Menteri


Rabu, 2 September 2009 | 15:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Fraksi sekaligus Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Sidik mengakui, salah satu materi dalam kontrak politik dengan SBY adalah mengenai power sharing alias bagi-bagi kekuasaan.

Berbekal kontrak tersebut, kata Mahfudz, tak ada alasan bagi PKS untuk ribut atau merongrong SBY terkait jumlah kursi di kabinet yang akan diperoleh. Akan tetapi, Mahfudz tak mau merinci, apakah isi kontrak sudah rigid mengatur tentang jumlah dan pos menteri apa saja yang akan diisi PKS.

"Dalam kontrak politik PKS jelas bahwa koalisi, selain pencalonan juga pembentukan kabinet. Pokoknya hal-hal yang terkait dengan power sharing. Maka, PKS tidak dalam posisi bargaining," kata Mahfudz, dalam diskusi "Pola Perekrutan Menteri SBY, antara Profesionalitas dan Balas Budi", di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (2/9).

Kontrak politik tersebut, urainya, ditandatangani secara jelas oleh SBY sekalu Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus capres dan Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin.

"Kaitannya dengan koalisi di pemerintahan, manakala SBY-Boed menang. Itu derivasi dari kontrak politik umum yang isinya agenda politik koalisi," jelas MahfUdz.

Akan tetapi, kesepakatan mengenai bagi-bagi kekuasaan, menjadi salah satu hal yang disepakati untuk tidak dibuka ke publik. "Kontrak itu gentleman agreement . Atas dasar itu, PKS kerja keras memenangkan SBY," ujarnya.

Ia menambahkan, saat ini PKS hanya menunggu komitmen dan kekonsistenan SBY atas kontrak politik yang telah disepakati bersama tersebut. "Kalau kami mengatakan soal kabinet terserah Pak SBY, maksudnya itu terserah mau konsisten dengan kontrak politik atau tidak," ungkapnya.

Mahfudz juga mengaku tak tahu, apakah hal yang sama dituangkan dalam kontrak politik SBY dengan partai koalisi lainnya seperti PPP, PKB dan PAN.


KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

Menkominfo Janji "Blogger" Tidak Akan Dipenjara

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 13:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring menjamin kebebasan para blogger untuk mengekspresikan pendapatnya di jagat maya. Ia mengatakan, asalkan tidak memfitnah pihak lain, blogger Indonesia sah-sah saja untuk menyampaikan unek-uneknya.

"Ya, jelas enggak dong. Blogger kok dipenjara," kata Tifatul seusai memberikan sambutan pada acara Pesta Blogger 2009 di Jakarta, Sabtu (24/10). "Kritik saja, asal jangan memfitnah. Ya, namanya orang berekspresi, dijawab dengan pantun juga selesai," lanjut menteri asal Bukittinggi, Sumatera Barat, itu.

Kebebasan berpendapat di jaringan internet di Indonesia saat ini masih menjadi perhatian serius para pengelana jagat maya. Hal ini dipicu oleh kasus perseteruan Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional Tangerang di meja hijau soal tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukan Prita kepada RS Omni.

Karena itu, acara Pesta Blogger 2009 tersebut mengangkat tema "One Spirit One Nation" yang salah satunya membahas soal legalitas dan kebebasan berekspresi dalam menuangkan pendapat di ranah maya.

Laksono Hari Wiwoho

Kamis, 12 Maret 2009

Mega-JK Bangun Kekuatan

Mega-JK Bangun Kekuatan

KOMPAS / ALIF ICHWAN
Ketua Umum DPP Partai Golkar yang juga Wakil Presiden M Jusuf Kalla bersama Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri melakukan jumpa pers seusai menandatangani Kesepakatan Dua Tokoh di Jakarta, Kamis (12/3). Sebelumnya, kedua tokoh tersebut melakukan pertemuan tertutup.

Jakarta, Kompas - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Jusuf Kalla bersama Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri sepakat untuk membangun pemerintahan yang kuat pada masa datang.

Keduanya yakin, hanya dengan pemerintahan yang kuat, kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan.

Dalam pertemuan yang berlangsung di Jalan Imam Bonjol, Kamis (12/3), itu Kalla ditemani Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh, Wakil Ketua DPP Partai Golkar Agung Laksono, dan Ketua DPP Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu.

Adapun Megawati ditemani Ketua Dewan Pertimbangan Pusat DPP PDI-P Taufik Kiemas serta putrinya, Puan Maharani.

Lima butir kesepakatan tertulis yang berjudul ”Kesepakatan Dua Tokoh” itu dibacakan bergantian oleh Sekjen DPP Partai Golkar Soemarsono dan Sekjen DPP PDI-P Pramono Anung.

Menurut Kalla, tujuan pertemuan itu jelas. ”Sesuai dengan tujuan kita semua dalam berbangsa dan berpolitik, yaitu bagaimana mencapai bangsa yang besar, maju, dan rakyatnya sejahtera. Dalam kerangka itu tentu dibutuhkan pemerintahan yang kuat dan melalui pemilu jujur dan adil,” katanya.

Sementara Megawati menilai pertemuan itu merupakan kesepakatan dua tokoh yang diharapkan dapat terus berproses. ”Saya bilang, waktu ditanya pers kemarin mengenai pertemuan ini, masalah ketemu atau tidak ketemu dengan para tokoh, itu masalah momen. Semoga, kalau kita bisa menyatukan persepsi, pertemuan ini bisa terus dilanjutkan,” papar Megawati.

Ini pertemuan kedua yang dilakukan Kalla-Mega. Pertemuan pertama berlangsung saat Idul Fitri tahun lalu, dengan Kalla mendatangi Megawati di kediamannya di Jalan Teuku Umar.

Tidak ada capres-capresan

Saat ditanya pers apakah dibicarakan juga mengenai pembagian kekuasaan antara posisi calon presiden dan wakil presiden, Megawati menjawab, ”Tadi kami makan enak. Jadi, belum ada urusan capres-capresan. Saya tadi bilang kepada Pak Kalla, saya pilih nasi goreng kampung karena dari kampung itulah yang enak.” Ucapan Megawati itu disambut tertawa Kalla.

Meski berkali-kali ditanya mengenai arah pertemuan menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden Juli mendatang, baik Kalla maupun Megawati selalu mengelak.

”Pertemuan berdua ini diharapkan akan dapat menghasilkan suasana dalam kampanye maupun pemilihan presiden. Seperti, tentunya, masyarakat dan media tahu akhirnya kulminasinya di pemilu presiden yang akan dilakukan Juli mendatang, sehingga apa pun di pengujung tahun 2009 akan ada proses demokrasi yang dinamikanya cukup tinggi. Namun, tetap aman dan damai serta jujur dan adil.”

Tentang kelanjutan dua parpol itu, Megawati menyatakan, pertemuan akan berlanjut di tingkat DPP, sebelum 16 Maret 2009.

Adapun Kalla menyatakan, penentuan koalisi merupakan kewenangan partainya. ”Kami tidak bicarakan hal-hal di luar kewenangan partai. Sikap formal Golkar akan disampaikan seusai pemilihan legislatif,” tuturnya.

Positif

Capres usungan Partai Gerakan Indonesia Raya, Prabowo Subianto, menilai pertemuan Megawati-Kalla merupakan bentuk komunikasi politik yang baik dan perlu dilakukan. ”Saya kira bagus ya, saling berkomunikasi politik seperti itu antartokoh bangsa. Saya juga beberapa kali ketemu dengan sejumlah tokoh, seperti Ibu Megawati dan yang lain. Berdemokrasi kan artinya juga saling berkomunikasi,” ujar Prabowo.

Prabowo mengelak menjawab pertanyaan soal ke mana kecenderungan pihaknya akan ”merapat” dalam konteks koalisi di tengah sejumlah fenomena ”blok politik” seperti Blok M (Megawati), Blok J (Jusuf Kalla), atau Blok S (SBY). ”Lha, kok pake blok-blokan segala sih? Kalau Blok P memangnya ada belum, ya? Ha-ha-ha,” ujar Prabowo.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menghargai pertemuan politik Partai Golkar dengan PDI-P. Demokrat setuju dan sejalan dengan isu yang dibahas Golkar dan PDI-P.

”Kami selalu menghargai pertemuan-pertemuan politik Golkar dan PDI-P sejak dahulu sampai sekarang meskipun status Golkar ada di dalam pemerintahan, sedangkan PDI-P jelas partai oposisi. Kami tidak pernah mempersoalkannya karena komunikasi politik adalah hal yang baik dan biasa saja,” ujar Anas.

Demokrat melihat pertemuan itu lumrah dan bukan sesuatu yang baru karena telah dirintis jauh sebelumnya saat pertemuan Golkar dan PDI-P di Medan dan Palembang tahun 2008.

Tradisi baru

Pengamat politik Indria Samego menilai silaturahim yang dilakukan sejumlah pemimpin parpol menjelang pemilu legislatif merupakan tradisi baru dalam politik Indonesia. ”Hal ini tidak terjadi di Pemilu 2004. Meskipun adakalanya tidak mengagendakan sesuatu, ini memberikan pengalaman positif bagi politik nasional,” ujarnya.

Menurut Indria, pertemuan pimpinan parpol juga merupakan iklan politik yang efektif dan bisa membuat rakyat makin tertarik untuk ikut memilih. Perkembangan yang menarik ini bisa melahirkan agenda pertemuan baru dan melahirkan alternatif calon presiden. (HAR/MAM/INU/OSD/DWA)

Jateng, Magnet Nasional

Jateng, Magnet Nasional

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas KPU Kota Semarang melakukan sosialisasi pemilu pada kegiatan "Pendidikan Pemilih di Lokalisasi Sunan Kuning" Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (5/3). Kegiatan yang diselenggarakan oleh BEM KM Universitas Negeri Semarang ini bertujuan memberikan pengetahuan kepada pekerja di lokalisasi tersebut untuk menggunakan haknya dengan benar pada Pemilu 2009.

Oleh Winarto Herusansono

MENJELANG kampanye terbuka 16 Maret hingga 5 April 2009, Provinsi Jawa Tengah menjadi medan magnet bagi partai politik besar untuk mendulang suara pemilih. Sejumlah tokoh nasional akan meramaikan kampanye terbuka di provinsi dengan sekitar 26 juta pemilih terdaftar itu.

Berdasarkan peta politik pascapemilihan gubernur Jawa Tengah 22 Juni 2008, PDI-P memang masih merajai dengan memenangkan pasangan mereka, Bibit Waluyo (mantan Panglima Kodam V Diponegoro) dan Rustriningsih (mantan Bupati Kebumen) sebesar 43,44 persen.

Disusul oleh Partai Golkar yang mengusung Bambang Sadono dan Ketua PWNU Jateng M Adnan, serta calon dari Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera Sukawi Sutarip (Wali Kota Semarang dan Ketua DPD PD Jateng).

Tidak dapat dimungkiri, Jawa Tengah adalah lumbung suara tradisional Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri, tentunya setelah Bali. Meski demikian, tidak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, capres Partai Hanura Wiranto, capres Gerindra Prabowo Subianto, dan capres alternatif Sutiyoso akan serius berkampanye di Jateng.

Sekretaris Umum DPD Partai Demokrat Jateng Dani Sriyanto, Rabu (11/3), mengemukakan, Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa disapa SBY akan berkampanye di Kota Semarang pada 5 April 2009. SBY memilih berkampanye pada hari terakhir sebelum masa tenang ditetapkan DPD Partai Demokrat Jateng setelah SBY menggarap pula wilayah DI Yogyakarta.

”Tema besar kampanye itu, keberhasilan pemerintah saat ini harus dilanjutkan. Tema itulah yang menjadi ikon tema besar Partai Demokrat pada kampanye terbuka nanti,” ungkap Dani.

Salah satu alasan SBY berkampanye di ibu kota Jateng, Semarang, menurut Dani, karena kekuatan massa Partai Demokrat di kawasan pantai utara, khususnya Semarang dan Rembang, cukup besar. Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip juga merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Posisi ini mempermudah konsolidasi massa, termasuk konsolidasi pengamanan kampanye.

Di kubu Partai Golkar, Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo menjelaskan, sebagai calon presiden, Jusuf Kalla juga serius menggarap Jateng. JK bahkan telah memilih jadwal kampanye terbuka di Jateng pada 25 Maret dan 4 April 2009. ”Kami belum memutuskan mengenai lokasi tepatnya di mana JK akan berkampanye. Bisa di Solo, Magelang, atau Semarang. Hal itu bergantung pada jadwal nanti, menyesuaikan dengan agenda KPU,” kata Firman.

Firman menjelaskan, JK akan didukung oleh tokoh-tokoh nasional dalam berkampanye menggarap potensi suara Jateng. Tokoh lain juga turun, seperti Siswono Yudo Husodo, Akbar Tandjung, juga Sultan Hamengku Buwono X yang banyak dikenal masyarakat.

Mengenai upaya PDI-P untuk mempertahankan mayoritas perolehan suara pada Pemilu 2004, menurut Sekretaris Umum DPD PDI-P Jateng Nuniek Sriyuningsih, PDI-P tetap berkonsentrasi pada kampanye di Solo, Wonogiri, Sragen, Sukoharjo, Boyolali, dan sekitarnya.

Untuk itu, jadwal kampanye Megawati pun akan diarahkan ke daerah Solo dan sekitarnya. Caleg potensial, seperti Tjahjo Kumolo, yang bertarung di Kota Semarang dan sekitarnya serta Puan Maharani di Kota Solo dan sekitarnya juga telah berkampanye langsung ke masyarakat. ”PDI-P akan mengurangi pengerahan massa pada kampanye terbuka,” katanya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Jateng Ida Budhiati menjelaskan, KPU telah meniadakan batasan wilayah kampanye sesuai dengan Surat Keputusan KPU Nomor 115 Tahun 2009. Dengan aturan baru itu, kampanye untuk satu partai politik bisa berlangsung serentak di seluruh Jateng. ”Kampanye bisa seperti pasar bebas. Silakan berkampanye sesuai dengan jadwal yang disiapkan KPU,” ungkap Ida.

Menyambut kampanye yang bakal berlangsung hiruk-pikuk ini, Kepolisian Daerah Jateng dan Komando Daerah Militer IV Diponegoro menggelar simulasi pengamanan pemilu di Jalan Pahlawan Semarang, Rabu lalu.

(HERPIN DEWANTO)

Sosok Keraton dalam Politik

Sosok Keraton dalam Politik

DIDIE SW

KERATON Yogyakarta adalah simbol budaya adiluhung Jawa, khususnya yang bernuansa Mataraman. Hingga kini, keraton yang berdiri dua setengah abad lalu itu masih menjadi patron kultural masyarakat di DIY dan sebagian Jawa Tengah. Namun uniknya, meski kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat, keraton tak serta-merta menjadi patron dalam berpolitik.

Lantas, di manakah letak Keraton Yogyakarta dalam konteks pemilih pemilu dan seberapa besar pengaruh tokoh terhadap pilihan politik?

Arif Akhyat, pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menyatakan, Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya sebenarnya mengakar kuat hingga ke masyarakat bawah. Sebagai institusi, keraton sebetulnya menjadi patron perubahan dalam masyarakat, termasuk orientasi pilihan politik. Namun, kekuatan pengaruh keraton tersebut berlaku pada kalangan tertentu semata, yaitu pada orang Yogyakarta asli dan pendatang yang telah menyatu secara kultural dengan keraton.

Selain itu, sikap politik Keraton Yogyakarta yang secara demokratis membebaskan pilihan politik rakyat menjadikan peta politik DIY menjadi cenderung ”netral” dari intervensi perintah keraton. Pada titik tertentu, sikap keraton yang sebenarnya sangat dipatuhi oleh kawula Yogyakarta itu menempatkan citra keraton lebih berfungsi sebagai institusi budaya ketimbang politik (Sultan HB X sebagai Raja Yogyakarta adalah Gubernur DIY, sekaligus pimpinan Golkar).

Dengan demikian, tak mengherankan jika publik Yogyakarta memandang Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya, tempat nilai-nilai budaya Jawa dilestarikan. Namun, dalam berpolitik, publik Yogya bisa memiliki pilihan politik yang berbeda. Secara sederhana, hal itu juga tecermin dalam polarisasi dukungan kerabat Keraton Yogyakarta terhadap patron keraton, yaitu Sultan Hamengku Buwono X. Prabukusumo, adik HB X, contohnya, cenderung mendukung Partai Demokrat dan calon presiden yang diusung parpol tersebut dalam Pemilu 2009.

Meski demikian, patron budaya itu terbukti sewaktu-waktu bisa menjadi sebuah patron politik manakala pihak keraton atau Sultan HB X sendiri memerintahkan sebuah gerakan politik, sebagaimana terjadi pada ”Aksi Massa Reformasi” Mei 1998. Demikian juga terkait dengan pencalonan Sultan HB X sebagai presiden, terlihat peran Keraton Yogyakarta yang kembali dilibatkan dalam kancah politik melalui acara ”Pisowanan Agung”. Dalam kasus-kasus semacam itu, terbukti Keraton Yogyakarta masih memiliki pamor kuat untuk menggerakkan pilihan politik publik Yogyakarta.

Santri dan abangan

Dalam situasi bebas, menurut Sigit Pamungkas, potret karakter konstituen Yogyakarta sejauh ini tak bergeser banyak dari hasil kajian Afan Gaffar dalam buku Javanese Voters: A Case Study of an Election Under a Hegemonic Party System in Indonesia. Pemilih cenderung menetapkan preferensi politiknya sesuai dengan komitmen sosioreligi yang diyakini. Secara sederhana, pemilih masih terpilah dalam kelompok santri dan abangan. Kelompok ”santri” cenderung memilih partai politik berhaluan Islam, sedangkan ”abangan” lebih condong memilih parpol non-agama, seperti parpol berideologi nasionalis atau sosialis.

Dalam konteks kekinian, ”santri” tak sekadar mengacu pada kalangan pondok pesantren atau mereka yang belajar kepada kiai (nyantri). ”Santri” mencakup konteks yang lebih luas, yaitu mereka yang bersimpati atau berafiliasi pada organisasi sosial keagamaan (Islam) tertentu. Tak terbatas pada organisasi sosial keagamaan yang sudah lama eksis di Indonesia saja, seperti NU atau Muhammadiyah, tetapi juga organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Sementara itu, ”abangan” mereferensi kelompok masyarakat di luar santri, termasuk pemeluk Islam yang nonpartisan terhadap organisasi sosial keagamaan tertentu.

Heterogenitas komposisi penduduk DIY saat ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi parpol untuk menggarap pemilih Yogyakarta. Kemampuan memetakan konstituen dalam kantong-kantong santri dan abangan akan lebih memudahkan parpol dalam melakukan pendekatan yang efektif guna meraih suara konstituen pada Pemilu 2009.

(NURUL FATCHIATI)

Geliat "Santri Kota" di Wilayah "Abangan"

Peta DI Yogyakarta

MESKI Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan besar, berpangkal dari Yogyakarta, provinsi yang pertama bergabung dengan Republik Indonesia pada awal kemerdekaan ini sejatinya adalah basis kaum nasionalis. Kekuatan politik kaum nasionalis patut mewaspadai kekuatan partai aliran keagamaan yang mulai meraih simpati konstituen Yogyakarta.

Kompetisi di antara parpol yang berhaluan nasionalis, komunis, dan Islam di DIY sebenarnya sudah terjadi sejak pemilu pertama digelar. Pada Pemilu 1955 itu, ketika DIY masih menjadi satu wilayah dengan Provinsi Jawa Tengah, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendominasi perolehan suara di wilayah yang saat ini menjadi wilayah DIY. PNI menang mutlak di Kabupaten Kulon Progo serta menang tipis di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sedangkan PKI menang di Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta.

Dilihat secara provinsi, pamor partai Islam saat itu masih relatif kecil, bahkan kalah oleh Grinda, sebuah gerakan politik kaum priayi/bangsawan di Yogyakarta yang meraih suara ketiga terbanyak. Partai Islam Masyumi yang tersohor itu hanya mampu meraih peringkat keempat.

Pada era pemilu berikutnya, kekuatan politik Golkar telah mampu menggiring suara bagi partai ”beringin” itu. Bahkan, sebelum fusi parpol diberlakukan tahun 1971, Golongan Karya yang mampu mendefinisikan dirinya dalam birokrasi mendapat suara terbanyak meski masih dibayang-bayangi perolehan Partai NU.

Seperti halnya ”nasib” mayoritas provinsi di Indonesia, sepanjang pemilu masa Orde Baru, Golkar menang mutlak di DIY. Namun, kemenangan parpol tersebut tak pernah lebih besar dari 71 persen. Sebagian pemilih yang berdomisili di Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta cenderung loyal berpihak pada partai nasionalis. Bahkan, perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari pemilu ke pemilu dalam kurun waktu 20 tahun (1977-1997) di dua wilayah tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Afiliasi keislaman


Pemilu langsung yang terselenggara tahun 1999 mengukuhkan citra wilayah ini sebagai basis nasionalis. PDI-P sebagai representasi dari parpol nasionalis menang mutlak di semua kabupaten/kota di DIY dan berhasil meloloskan 15 wakilnya di kursi DPRD provinsi. Selain bangkitnya pemilih nasionalis, pada saat yang sama basis-basis konstituen partai Islam rupanya turut berkembang. Kekuatan politik Islam tampak dari ”menyeruaknya” perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih tempat kedua dengan 17,27 persen suara, mengalahkan Golkar di tempat ketiga dan PKB di tempat keempat.

”Kemenangan” politik PAN dengan meraih tempat kedua dalam Pemilu 1999 menandai bangkitnya kekuatan politik yang berafiliasi kepada identitas keislaman. Meski parpol ini secara platform bersifat terbuka, tak terhindarkan terbentuknya afiliasi politik yang dekat dengan simbol keislaman, terutama gerakan Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta. Malah bisa dikatakan, PAN memiliki massa riil pendukung yang dikonstruksi dan terbentuk dari jumlah massa Muhammadiyah di wilayah ini.

Perolehan suara PAN dalam Pemilu 2004 mencapai 342.921 suara. Sedangkan dari proyeksi data pemilih Pemilu 2004, diperkirakan pemilih potensial PAN sebenarnya mencapai 544.325 jiwa lebih atau 1/7 jumlah penduduk.

”Orang Muhammadiyah memilih PAN bukan karena partai (kuasi) Islam. Bukan pula karena parpol itu berwatak plural. Orang Muhammadiyah memilih PAN semata karena parpol itu ’baju’-nya Muhammadiyah,” kata Sigit Pamungkas, pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM.

Dengan habitat sosial semacam itu, tak heran, PAN yang sebenarnya ”pendatang baru” dalam percaturan politik di DIY dengan cepat meraih simpati konstituen. Terbukti, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul merupakan lumbung suara PAN pada tahun 1999. Di wilayah-wilayah itu PAN mengalahkan Golkar dan menduduki peringkat kedua di bawah PDI-P.

Sifat kelompok santri di DIY dalam berpolitik saat ini tak berbeda jauh dengan masa lalu. Kelompok ini relatif ”patuh” pada afiliasi keagamaannya meski tak selalu setuju dengan pandangan organisasi sosial keagamaan yang menjadi referensinya. ”Konstituen yang termasuk kaum santri di Yogyakarta cenderung ’manut’ atau mengikuti pilihan politik orang-orang yang punya komitmen sosioreligi sama,” kata Sigit Pamungkas.

Di lain pihak, pemilahan karakter pemilih pemilu Yogyakarta yang relatif terdidik dan melek informasi membuka pintu bagi kehadiran parpol kuasi agama seperti PAN. Partai kuasi menjadi partai ”alternatif” ketika baik konstituen Muslim maupun non-Muslim mendapati kekecewaan dengan parpol nasionalis, seperti PDI-P dan Golkar. Itu terbukti dari perolehan suara PAN dalam dua pemilu langsung (1999-2004) yang memang cenderung tetap (17 persen), sementara suara parpol-parpol nasionalis justru semakin turun.

Merosotnya perolehan suara parpol nasionalis dalam Pemilu 2004 menjadi fenomena tersendiri. PDI-P yang mengantongi sedikitnya 35 persen suara pada Pemilu 1999 menurun hampir 10 persen. Partai Golkar juga berkurang suaranya meski tak terlampau besar. Di sisi lain, perolehan suara parpol berbasis massa Islam yang direpresentasikan oleh PAN, PKB, dan PKS cenderung kokoh, bahkan meningkat. Apakah ini merupakan tanda mulai tergerogotinya kekuatan politik di basis kaum nasionalis?

Kultur nasionalis

Kedekatan sosiopolitik pemilih DIY pada ideologi nasionalis tak lepas dari peran Keraton Yogyakarta sebagai patron kultural dan sosok yang cenderung mengedepankan paradigma nasionalisme dalam berkomunikasi politik kepada rakyat Yogyakarta. Salah satu contoh konkret adalah penggabungan wilayah ini dengan ”bayi” negara RI pada masa kemerdekaan serta dukungan kuat Sultan Hamengku Buwono IX terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Arief Akhyat, pengajar Jurusan Sejarah UGM, nasionalisme terbentuk pula dari perjalanan sejarah sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta. Pascakemerdekaan, sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk DIY, terperangkap kemiskinan. Semakin jauh letak suatu kawasan dari Keraton Yogyakarta, semakin ”berjarak” pula kesejahteraan penduduknya dengan kemakmuran. Pada Pemilu 1955, kondisi yang demikian menjadi lahan garap potensial bagi PNI dan PKI yang menjunjung konsep marhaenisme dan keberpihakan kepada kaum papa, sebuah isu yang kini banyak digaungkan kembali oleh partai-partai nasionalis.

Di samping faktor penguat identitas nasionalis tersebut, posisi Yogyakarta sebagai kota ”pendatang” tempat bernaungnya berbagai institusi pendidikan memberikan perkembangan warna politik tersendiri yang cenderung dinamis bagi perubahan. Partai-partai mapan, seperti PDI-P dan Golkar, terpaksa berbagi suara pemilih dengan parpol nasionalis baru, seperti Partai Demokrat. Hal itu tampak dari perolehan Demokrat di DIY yang cukup berarti, sekitar 6 persen suara. Tampilnya sosok Susilo Bambang Yudhoyono ke tampuk teratas pemerintahan agaknya menjadi penarik dukungan yang cukup efektif untuk menarik simpati pemilih partai-partai nasionalis tradisional.

Kian menyebarnya dukungan kaum nasionalis tradisional kepada Partai Demokrat maupun partai nasionalis-sekuler lainnya bisa jadi bakal makin menyurutkan pamor partai nasionalis mapan seperti PDI-P dan Golkar. Belum lagi kehadiran partai nasionalis baru seperti Gerindra dan Hanura yang gencar mempromosikan nilai-nilai keberpihakan kepada rakyat.

Selama dua pemilu terakhir (1999-2004), tampak proporsi perolehan parpol nasionalis dan Islam sebenarnya relatif tetap. Pada Pemilu 1999, pemilih parpol Islam di wilayah ini mencakup 44 persen, sedangkan pemilih partai nasionalis sekitar 56 persen. Komposisi ini terulang kembali dalam jumlah relatif sama pada Pemilu 2004. Artinya, pemilih nasional dan pemilih Islam relatif loyal kepada ideologi yang dianut, tetapi bisa jadi beralih ”baju” kepada partai lain, asalkan ideologinya sama.

Bersandar pada fakta hasil dua pemilu langsung dalam sepuluh tahun terakhir, diprediksi parpol yang mengusung ideologi nasionalis masih tetap eksis di DIY. Konstituen Yogyakarta yang sebagian besar ”abangan” menjadi segmen pangsa potensial bagi parpol-parpol nasionalis. Tiga parpol nasionalis yang bakal berkompetisi cukup ketat adalah PDI-P, Partai Golkar, dan Demokrat, selain partai baru seperti Gerindra dan Hanura. Namun, PAN, PKB, PKS, dan parpol berhaluan Islam lain juga potensial menjadi pilihan warga Yogyakarta. Tinggal kelincahan parpol memanfaatkan waktu menuju 9 April 2009, melimbang suara konstituen DIY yang masih mungkin bersulih.


(NURUL FATCHIATI/ Litbang Kompas)

Terbelit Dana, Minim Sosialisasi

Terbelit Dana, Minim Sosialisasi

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Perwakilan Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan kabupaten/kota membahas contoh surat suara DPD Provinsi Jawa Tengah, sebelum rapat kerja antara KPU dan KPU daerah se-Indonesia di Jakarta, Rabu (4/3). Rapat kerja ini untuk membahas segala persiapan menjelang pelaksanaan pemilu pada 9 April.

DIBANDINGKAN dengan daerah lain, wilayah DKI Jakarta memang relatif lebih siap menghadapi Pemilu 2009. Namun, tetap saja banyak hal yang perlu dipersiapkan dan diantisipasi oleh KPU, Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta, termasuk pemerintah setempat, agar Pemilu 2009 ini berjalan lancar.

Kesiapan para calon pemilih justru harus mendapat perhatian. Walau berbagai informasi tentang pemilu begitu cepat diakses, hal itu tidak berarti semua warga Jakarta, terutama calon pemilih, mengerti dan tahu persis proses pemilu.

Ambil contoh saja, soal memberi tanda pada kertas suara. Hingga kini masih banyak warga yang belum tahu, bahkan tidak bisa membedakan antara coblos dan contreng. Kata contreng pun masih terasa asing di telinga calon pemilih. ”Contreng itu kayak apa ya?” ujar Suradi, seorang tukang ojek di daerah Slipi, yang balik bertanya saat ditanyai soal contreng.

Minimnya sosialisasi pemilu diakui KPU DKI. Anggaran yang terbatas! Itulah persoalannya. KPU DKI dan kota-kota di Jakarta hanya mendapat Rp 60 juta. Dengan anggaran sebesar itu, KPU hanya bisa melakukan sosialisasi dengan cara membagikan stiker dan selebaran sederhana di kawasan strategis.

Sosialisasi dalam bentuk tatap muka pernah dilakukan November-Desember 2008. Kini fokus sosialisasi pada iklan di media massa.

Beberapa caleg memang berupaya sebisanya untuk menjelaskan tata cara pemungutan suara kepada masyarakat.

Kesuksesan pemilu juga ditentukan logistik. Di DKI, logistik yang sudah lengkap adalah segel dan tinta sidik jari, sedangkan surat suara baru 40 persen. Untuk tender logistik di tingkat provinsi, baru sebagian yang rampung. Tender bilik dan kotak suara sudah selesai dan petugas tinggal merakitnya. Formulir A3 untuk daftar pemilih tetap (DPT) yang akan didistribusikan ke TPS sedang dicetak, sedangkan formulir C untuk berita acara masih dilelang.

Untuk pelipatan surat suara, KPU kabupaten/kota akan mengerahkan PPK/PPS serta staf sekretariat.

Di Jakarta Timur ditemukansebanyak 300.000 surat suara salah mencantumkan nama partai politik. Saat ini surat suara itu sudah ditarik. Namun, surat suara pengganti belum dikirim.

DKI Jakarta memiliki 220 anggota PPK di 44 kecamatan dan 801 PPS di 267 kelurahan. Adapun petugas KPPS yang akan diangkat 9 Maret mencapai 119.336 orang untuk 17.048 TPS.

KPPS yang menjadi ujung tombak pemungutan dan penghitungan suara malah tidak mempunyai anggaran untuk bimbingan teknis. ”Kalaupun tidak ada bantuan, kami tetap akan adakan bimtek. Mungkin dengan mengumpulkan ketua-ketua KPPS supaya tata cara pemungutan dan penghitungan suara bisa disampaikan ke anggota KPPS lain,” tutur Dahliah.

Minimnya dukungan dana untuk operasional pemilu juga dikeluhkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta. Sejak dilantik Agustus 2008 lalu, Panwas baru dua kali terima honor. Itu pun terlambat.

Ketua Panwaslu DKI Jakarta Ramdansyah mengakui bahwa Panwaslu DKI pertama kali menerima honor pada akhir November 2008. Honor kedua baru diterima sepuluh hari yang lalu.

Hingga kini Panitia Pengawas Lapangan (PPL) sudah terbentuk sampai di tingkat kelurahan. Sekitar 400 lebih anggota PPL telah terjun ke lapangan.

Ramdansyah mengakui, gara-gara keterlambatan honor, personel Panwaslu yang tadinya begitu bersemangat bekerja belakangan mengendor semangatnya. Ada yang ”boikot” bekerja. Awalnya laporan yang masuk cepat, sekarang melambat. ”Bagaimana kami bisa optimal kalau beban pos operasi lebih besar dari pendapatan,” ujarnya.

Secara kelembagaan, Panwaslu memang tidak ada masalah, tetapi dukungan finansial dan birokrasi, khususnya dari Pemprov DKI Jakarta, dinilai masih minim.

Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menyatakan sosialisasi merupakan persoalan yang dihadapi DKI Jakarta. Jika mengandalkan media, Jeirry pesimistis ada warga Jakarta yang hingga hari H nanti tak mengerti. ”Walau akses informasi bagus, di Jakarta banyak orang bingung karena wacana beredar dengan cepat,” katanya.

Untuk pengawasan, tidak mungkin hanya mengandalkan Panwaslu. Dengan keterbatasan Panwaslu, ia tidak yakin pengawasan berjalan optimal. ”Kewenangannya yang tidak penuh, membuat Panwaslu ibarat wasit yang bisa semprit, tetapi tidak bisa memberikan sanksi yang memberi efek jera,” paparnya.

Kini, waktu tinggal sebulan lagi. Siap tidak siap, mau tidak mau, pemilu segera tiba. Berpacu dengan waktu, dan mempersiapkan secara maksimal, serta meminimalkan kelemahan dan kekurangan, itulah yang kini jadi pekerjaan terberat KPU dan Panwaslu. Jakarta, ayo bersiap!

(Nina Susilo/ Sonya Hellen Sinombor)

Selasa, 27 Januari 2009

Soal Cawapres, Megawati Serahkan Forum Rakernas

Soal Cawapres, Megawati Serahkan Forum Rakernas

Laporan wartawan Kompas Sonya Helen Sinombor

SOLO, SELASA - Kendati telah mencuat sejumlah nama-nama calon wakil presiden dari PDIP yang akan mendampingi calon presiden dari PDIP Megawati Soekarnoputri, hingga kini Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum memastikan siapa yang akan mendampinginya.

Megawati dalam keterangan pers seusai Pembukaan Rakernas IV PDIP di Hotel The Sunan Solo, Selasa (26/1) siang, menegaskan secara pribadi dirinya tidak bisa menjawab siapa yang akan mendampinginya menjadi capres dari PDIP, karena masih akan dibicarakan dalam Rakernas. Itupun hasil Rakernas masih akan dievaluasi terus. "Di Rakernas ini bisa saja muncul nama, tapi apakah akan diputuskan atau belum tergantung dari proses Ra kernas ini, tegasnya.

Megawati juga menyatakan pihaknya terus melakukan konsolidasi dengan sejumlah partai, termasuk dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Partai Golkar. "Pak Sultan itu kan juga Golkar. Jangan lupa itu. Beliau Ketua DPD Golkar," katanya.

Usai memberikan keterangan pers, Megawati dan DPP PDIP kembali memasuki ruang persidangan dan menggelar rapat tertutup dengan peserta Rakernas IV PDIP. Ceramah khusus dari Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua KPK dijadwalkan, Selasa petang. Acara ini terbuka untuk peliputan media massa.

Mencari Pendamping Megawati di Solo

Mencari Pendamping Megawati di Solo


DOK. KOMPAS

SOLO, SELASA - Hari ini, Selasa (27/1), hingga besok, Rabu (28/1), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV di Solo, Jawa Tengah. Sejumlah agenda penting terkait Pemilu 2009 dibahas dalam hajatan partai itu, terutama menentukan siapa pendamping Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan umum presiden.

Sejumlah tokoh nasional dan ketua umum partai diundang dalam acara ini. Dari sejumlah tokoh yang disebut-sebut sebagai calon kuat pendamping megawati hingga Senin (26/1) malam telah mengerucut menjadi lima nama yaitu Sultan Hamengku Buwono X, Akbar Tandjung, Prabowo, Sutiyoso, dan Hidayat Nur Wahid.

"Mereka diundang untuk hadir dalam rakernas ini," kata Ketua Panitia Rakernas Puan Maharani, Senin. Puan tidak memastikan apakah nama-nama calon pendamping Megawati akan diumumkan dalam rakernas.

Rakernas yang dihadiri sekitar 1.200 peserta dari Dewan Pimpinan Daerah dan Cabang seluruh Indonesia juga akan membahas kriteria calon wakil presiden, pembantu presiden, berbagai strategi pemenangan pemilu, dan platform partai.

Pembukaan Rakernas pagi ini akan dihadiri Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Gubernur Bank Indonesia Boediono, Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Ashar.

Di akhir Rakernas akan disampaikan hasil survey, target tiap-tiap daerah pemilihan dalam pemilu, rekomendasi dan keputusan Rakernas. Akankah rekomendasi dan keputusan rakernas adalah nama final pendamping Megawati? Kita tunggu saja.

Kamis, 22 Januari 2009

PDI-P Anggap Pemerintah Gagal

PDI-P Anggap Pemerintah Gagal

Kamis, 22 Januari 2009 | 19:06 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Fraksi PDI-Perjuangan menilai kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyo buruk. Pemerintah dianggap gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. "Di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kesejahteraan rakyat terus merosot," kata Ketua Fraksi PDI-Perjuangan Tjahjo Kumolo di Gedung DPR, Kamis (22/01).

Buruknya kinerja pemerintah, kata Tjahjo, terihat dari pencapaian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang selalu meleset setiap tahun. Tjahjo mencontohkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, tingkat kemiskinan pada 2009 dipatok 8,2 persen. Namun hingga akhir 2008 jumlah orang miskin masih 14 persen. Padahal, kata Tjahjo, alokasi dana penuntasan kemiskinan naik setiap tahun. "Setiap tahun alokasi dana selalu naik," kata Tjahjo.

Selain target penurunan jumlah orang miskin, target pengurangan jumlah penganggur, target penekanan inflasi, serta target pertumbuhan ekonomi juga meleset semua. Selain itu, Tjahjo melanjutkan, pemerintah juga tak mampu mengendalikan harga sembako dan pembangunan infrastruktur. Pemerintah juga dinilai tak tanggap menangani bencana. Ia mencontohkan penanganan luapan lumpur Lapindo yang terkesan lelet. "Pemerintah seperti tak acuh," kata Tjahjo.

Karena itu, kata Tjahjo, klaim keberhasilan pemerintah hanya propaganda. Ia mencontohkan penurunan harga bahan bakar minyak yang diklaim sebagai keberhasilan dinilai hanya upaya manipulatif. Sebab, kata Tjahjo, turunnya harga minyak karena terpengaruh dari penurunan harga minyak dunia. "Harusnya bisa turun hingga Rp 3,700 - Rp 3,800," kata Tjahjo.

Klaim pemerintah yang menyatakan keberhasilannya menumpas koruptor juga dinilai tak tepat. Penanganan korupsi, kata Tjahjo, adalah tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang berada diluar pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi, kata Tjahjo, adalah lembaga independen. Kerja Komisi juga tak lepas dari peran DPR yang menetapkan anggarannya.

Aturan Komisi Pemilihan Umum tentang Keterwakilan Perempuan Diprotes

Aturan Komisi Pemilihan Umum tentang Keterwakilan Perempuan Diprotes

Jum'at, 23 Januari 2009 | 11:12 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Calon legislator dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Bambang Soesatyo keberatan dan memprotes soal akan terbitnya peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang kuota keterwakilan perempuan.

"Terus terang saya tergelitik," ujar Bambang seperti tertulis pada pesan pendeknya kepada Tempo, Jumat (23/1). Menurut Bambang, aturan ini jelas meminggirkan aspek keadilan dan keputusan Mahkamah Konstitusi soal suara terbanyak.

"Saya setuju dengan pendapat bahwa keputusan MK telah meruntuhkan aturan nomor urut dan ambang suara 30 persen. Dan itu pula yang mendorong para caleg saat ini baik nomor urut satu sampai nomor urut sepatu, all out habis-habisan merogoh kocek agar mendapat suara terbanyak di partainya masing-masing," ujar Bambang yang merupakan calon legislator nomor urut 1 di daerah pemilihan Jawa Tengah.

Komisi Pemilihan Umum akan segera menerbitkan peraturan Komisi Pemilihan Umum soal keterwakilan perempuan di mana aturan ini mengatur setiap tiga calon legislator terpilih, satu di antaranya harus perempuan. Jika tidak ada perempuan, salah satu calon laki-laki harus bersedia mundur untuk memberi jatah ke calon legislator perempuan.

"Bahkan tidak sedikit (calon legislator) yang berkorban menjual aset atau bahkan meminjam dana. Lalu karena ada keharusan keterwakilan wanita, dia kehilangan kursi yang menjadi haknya lewat perjuangan keras. Di mana letak keadilannya?" kata Bambang.

Menurut Bambang, aturan ini rawan menimbulkan konflik karena tidak jelas apa kriteria calon legislator yang mundur tersebut. Belum lagi, tidak banyak orang mau dan mudah memberikan kursinya ke orang lain terlebih jika diperoleh dengan kerja keras. "Bagaimana kalau ada jumlah suara yang sama di satu partai di satu dapil untuk satu kursi? Apakah UU sudah mengaturnya? Ini potensi-potensi konflik yang diperkirakan bakal melukai rasa keadilan siapapun yang mengalaminya," kata dia.

Jumat, 16 Januari 2009

Sultan dan Taufiq Kiemas Bertemu 2 Jam di Yogya

Sultan dan Taufiq Kiemas Bertemu 2 Jam di Yogya
detikcom - Sabtu, Januari 17

Pertemuan antar tokoh politik menjelang pemilu 2009 makin intensif. Sri Sultan Hamengku Buwono X yang bakal maju dalam pemilihan presiden (pilpres) bertemu Taufiq Kiemas di Yogyakarta. Sinyal untuk duet Mega-Sultan?

Pertemuan Sultan dengan suami Ketua Umum DPP PDIP Megawati itu semakin intensif setelah pertemuan di Jakarta beberapa waktu lalu. Saat itu Sultan menghadiri peluncuran buku 'Mereka Bicara Mega' di Hotel Sultan Jakarta pada tanggal 12 Desember 2008.

Pertemuan antara Sultan dengan Taufiq Kiemas di DI Yogyakarta digelar di restoran di Hotel Hyatt, di Jl Palagan Tentara Pelajar, Sleman, Jumat (16/1/2009). Pertemuan berlangsung selama lebih kurang 2 jam mulai pukul 19.30-21.30 WIB.

Saat Sultan datang dengan mengenakan kemeja batik dipadu celana panjang hitam, Taufiq langsung menyambutnya dengan ramah. Saling berjabat tangan dan bertegur sapa menunjukkan kedua tokoh tersebut memang sudah akrab sejak lama.

Setelah duduk, keduanya tampak ngobrol serius. Sesekali terlihat keduanya tersenyum dan tertawa. Tampak hadir dalam pertemuan itu adalah Ketua DPD PDIP DIY H. Djuwarto yang juga Ketua DPRD DIY beserta beberapa orang pengurus.

"Tempat duduk saya agak berjauhan dengan kedua beliau, sehingga tidak bisa mendengarkan semua yang dibicarakan. Situasi saat ngobrol juga santai," kata Djuwarto.

Menurut dia, pertemuan antara kedua tokoh ini harus diapresiasi secara positif mengingat pemilu semakin dekat. Pertemuan ini merupakan silaturahmi biasa untuk saling bertemu dan mengunjungi. Rencananya Taufiq Kiemas akan menghadiri acara yang digelar Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr Edy Suandi Hamid di kampus terpadu Jl Kaliurang Km 14, Sleman pada hari Sabtu 17 Januari 2009.

"Pertemuan ini sebagai silaturahmi biasa. Saling kunjung-mengunjungi ini mudah-mudahan bisa menjadi sinyal yang positif. Tapi memang keduanya sudah dekat sejak lama," kata Djuwarto.

Sebagaimana diketahui, Sultan merupakan salah satu tokoh dari sejumlah nama yang akan digandeng Megawati sebagai cawapres. Bahkan, dalam survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), duet Mega-Sultan merupakan rival duet SBY-JK.

Rabu, 14 Januari 2009

Mereka Calon Wapresnya Mega?

Mereka Calon Wapresnya Mega?


KOMPAS/Wisnu Widiantoro
Ketua Umum Partai Hanura Jenderal (Purn) Wiranto

JAKARTA, SABTU — Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sudah disodori lima nama calon pendampingnya untuk maju dalam Pemilu Presiden 2009. Dengan begitu, Presiden RI ke-5 itu tinggal tunjuk nama calon wakil presiden (cawapres)-nya.

Rencananya, nama-nama itu ditetapkan dalam Rapat Kerja Nasional di Solo, Jawa Tengah, akhir Januari ini. Meski pihak PDI Perjuangan belum mau terbuka soal lima nama itu, kabar yang beredar nama-nama calon pendampingnya adalah Prabowo Subianto (Gerindra), Wiranto (Hanura), Sri Sultan Hamengku Buwono X (Golkar), Hidayat Nur Wahid (Partai Keadilan Sejahtera), dan Ryamizard Ryacudu (mantan KSAD). Tiga nama pertama mendeklarasikan diri siap jadi capres.

Akan tetapi, Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung belum mau membenarkan lima nama itu. Dia mengatakan, sebenarnya ada sejumlah nama capres yang datang ke PDI Perjuangan untuk melamar sebagai cawapres.

"Nama-nama itu adalah nama capres yang sekarang beredar, mereka sudah melamar," katanya tanpa bersedia merinci siapa saja capres yang disebutnya itu saat dihubungi Jumat (9/ 1).

Megawati sendiri baru menetapkan satu orang cawapresnya, dari daftar nama yang disodorkan, setelah Pemilu Legislatif selesai. Sebab, hasil Pemilu 2009 akan menentukan parpol yang mendapatkan kursi terbanyak di DPR. Dengan begitu, akan diketahui berapa jumlah capres dalam Pemilu Presiden 2009.

Menurut Anung, dengan aturan yang ada, di mana capres disyaratkan harus didukung oleh 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara nasional. Dia memprediksi, Pemilu Presiden 2009 hanya akan ada tiga calon. Setidaknya, aturan itu akan membuat orang yang gagal menjadi capres melamar kepada Megawati sebagai cawapres.

Saat ini, Megawati masih melakukan kunjungan kepada konstituennya di wilayah Indonesia Timur. Dalam setiap kunjungannya di Ambon, dia mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengesampingkan tugas kenegaraaan karena sibuk berkampanye.

Dalam kesempatan itu, Mega berharap TNI dan Polri bersikap netral dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden mendatang. (moe)

Megawati Janji Bangun Kembali Karakter Bangsa

Megawati Janji Bangun Kembali Karakter Bangsa


DOK. KOMPAS

KUPANG, JUMAT- Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnopoetri yang sudah memastikan diri bakal maju sebagai calon presiden berjanji, jika terpilih sebagai Presiden pada Pemilu Presiden 2009, dia akan memberi perhatian pada pembangunan kembali karakter bangsa.

"Kalau saya ditanya apa yang akan anda lakukan jika terpilih sebagai Presiden, maka jawaban saya adalah membangun kembali jati diri dan mental anak bangsa saya," kata Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu, di Kupang, Jumat (9/1).

Menurut dia, negara-negara yang mengalami kemajuan yang sangat besar di berbagai bidang dewasa ini karena jati diri dan mental anak bangsanya sangat kuat. "Jati diri, mental anak bangsa harus dibangun kembali, karena jika tidak maka bangsa ini akan tetap dijajah," katanya.

"Saya sudah mengelilingi tiga perempat bangsa di dunia. Saya menyaksikan sendiri banyak sekali negara-negara yang sukses membangun ekonominya karena jati diri dan mental anak-anak bangsanya sangat kuat. Kalau kita tetap tidur, maka kita akan dijajah lagi," kata Megawati.

Ia menambahkan, ketika dirinya menjabat Presiden selama tiga tahun selalu keberatan dengan bantuan-bantuan yang ditawarkan luar negeri. Alasannya karena tidak ingin meninabobokkan rakyat Indonesia.

"Saya katakan, itu bukan namanya bantuan, tetapi hutang. Kalau namanya hutang harus dibayar. Stop, jangan ninabobokkan rakyat saya," katanya di hadapan sekitar 5.000 umat yang menghadiri perayaan Natal bersama masyarakat Kupang.

Megawati juga menyinggung tentang tambang emas di Papua yang dikunjunginya beberapa hari lalu untuk menghadiri perayaan Natal bersama masyarakat di Papua. "Saya tersentak melihat kekayaan alam yang ada di Papua, tetapi pertanyaannya, kapan rakyat Indonesia bisa kelola sendiri," katanya.

Karena itu, pembangunan kembali jati diri dan mental bangsa ini menjadi hal yang sangat penting dan strategis untuk membangun Indonesia menjadi suatu negara yang maju dan sejajar dengan negara lain.

Kunjungan Megawati ke Kupang itu merupakan bagian dalam lawatannya ke Indonesia bagian timur sejak 6 Januari lalu, dengan menyinggahi Papua, Maluku, Manado dan Ujungpandang.

Setelah menghadiri perayaan Natal bersama di Kupang, Megawati yang didampingi Sekjen DPP PDI Perjuangan Pramono Anung dan puluhan pengurus PDIP lainnya akan terbang kembali ke Jakarta.

Selasa, 06 Januari 2009

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan


J KRISTIADI

Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan sistem pemerintahan yang kompatibel dengan sistem kepartaian sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Kedua, meningkatkan kualitas partai politik sebagai institusi penopang demokrasi. Ketiga, meningkatkan kinerja lembaga perwakilan rakyat, dan terakhir, menyertakan keterlibatan 30 persen perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat.

Setelah Undang-Undang Politik disahkan, kecuali Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, beberapa tujuan yang ingin dicapai mulai memberikan gambaran yang tak terlalu buruk. Paling spektakuler adalah kesepakatan untuk menyertakan perempuan sebanyak 30 persen dalam lembaga perwakilan. Namun, yang patut disayangkan, tujuan untuk meningkatkan kualitas parpol dengan menciptakan sistem multipartai terbatas masih belum dapat diraih karena kompromi kepentingan sempit partai politik.

Salah satu aspek yang dianggap menjadi nilai lebih Pemilu 2009 adalah keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan calon anggota legislatif (caleg) suara terbanyak yang berhak mendapatkan kursi di parlemen. Keputusan itu memorakporandakan oligarki dan dinasti politik partai. Gagasan itu cukup lama menjadi topik diskusi publik yang hangat serta mendapatkan dukungan dari masyarakat. Meski gagal dituangkan dalam UU Pemilu, ide itu dengan alasan pragmatis diadopsi Partai Golkar yang dalam proses pembahasan UU menolak habis-habisan.

Namun, karena menghadapi kenyataan mesin organisasi tak efektif, pilihannya adalah menggerakkan mesin partai melalui kadernya yang menjadi caleg. Partai Golkar berubah kiblatnya. Tentu kelompok lain sangat menyayangkan keputusan itu, terutama parpol yang memberikan privilese kader partai yang dianggap andal atau yang dekat dengan pimpinan, sehingga mendapatkan nomor kecil, menjadi berantakan. Namun yang lebih mahal harganya adalah ongkos yang harus dibayar kelompok perempuan. Affirmative action yang dimaksudkan untuk menghasilkan proporsi 30 persen perempuan agar kebijakan publik tidak bias jender juga menjadi kacau-balau.

Akan tetapi, hal itu tidak dapat dihindari mengingat dari beberapa tujuan pemilu, secara inheren sering kali tujuan yang satu bisa bahkan bertentangan dengan tujuan yang lain. Misalnya, tujuan untuk mendapatkan anggota parlemen yang akuntabel dengan sistem suara terbanyak tidak sejalan dengan tujuan mendisiplinkan kader partai. Karena itu, politik adalah pilihan, prioritas, dan agenda sehingga tak semua dapat dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Mengenai agenda kuota perempuan, mungkin gagasan yang menyarankan agar caleg perempuan tidak diikutsertakan dalam ketentuan suara terbanyak dapat dipertimbangkan.

Dalam perspektif ini dapat dikatakan mesin demokrasi berjalan. Berbagai kepentingan politik subyektif, kelompok, golongan, bahkan yang saling bertentangan secara diametral, selain dapat menghasilkan kompromi yang positif, dapat pula merelatifkan sesuatu yang dianggap mutlak atau berlebihan.

Iklan politik yang gencar dilakukan parpol dan mulai dianggap mengancam kepentingan partai lain menimbulkan reaksi balik lawan politiknya untuk meredakan laju popularitas partai itu. Misalnya, iklan tokoh sentral Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dianggap mulai mendominasi publik, dilawan dengan menghidupkan kembali Panitia Khusus DPR terkait penghilangan paksa yang oleh Partai Gerindra dianggap sekadar rekayasa untuk menjatuhkan tokoh sentralnya.

Demikian pula Partai Gerindra menganggap tanggapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam putusan pengadilan almarhum Munir sebagai manuver politik untuk mencegah semakin meningkatnya popularitas partai itu.

Meragukan KPU

Dinamika politik yang memberikan harapan bagi Pemilu 2009 terancam oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ancaman itu tidak boleh dianggap sepele karena pertaruhannya adalah masa depan politik Indonesia. Banyak kalangan meragukan KPU mempunyai kapasitas untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 sebagaimana dilakukan KPU sebelumnya.

Dalam menangani berbagai masalah, kelihatan KPU sangat lamban dan memberikan kesan tidak profesional serta tidak tahu persis apa yang mau dilakukan. Misalnya, mengenai tindak lanjut keputusan MK tentang sistem pemilihan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, mereka seakan-akan cuci tangan serta lebih menyandarkan atau menyerah kepada pemerintah dengan mengharapkan terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Tak ada kesan mereka secara gigih dan cerdas sebagai lembaga independen dan terhormat mencari jalan keluar sendiri secara kreatif.

Oleh karena itu, tak berlebihan komentar Bachtiar Effendi yang menyatakan, ketidaksiapan KPU, kesalahannya telah terjadi sejak proses pemilihannya (Kompas, 5/1). Tentu banyak kalangan masih ingat kontroversi perekrutan anggota KPU yang dianggap cacat karena melanggar UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu karena mengabaikan ketentuan tentang rekam jejak para calon. Bahkan, terdengar isu miring proses pemilihan anggota KPU sangat diwarnai kepentingan dan ambisi politik perorangan yang mencoba ingin mengendalikan KPU.

Terlepas dari kinerja KPU yang diragukan banyak kalangan, bagaimanapun pemilu adalah hajatan rakyat. Karena itu, Pemilu 2009 yang cukup menjanjikan harus diselamatkan. Semua pihak diharapkan ikut ambil bagian untuk menyelamatkan karya bangsa dalam membangun sivilisasi politik baru. Pemerintah, dalam hal ini presiden, sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemilu, tanpa mengintervensi independensi KPU, dalam batas-batas tanggung jawab dan kewenangannya, dapat mengambil bagian untuk ikut menyelamatkan Pemilu 2009.

Sementara itu, parpol diharapkan tidak hanya melakukan kampanye murahan. Mereka diharapkan melakukan kampanye yang lebih berkualitas dengan memfokuskan pada pendidikan politik rakyat. Dengan demikian, Pemilu 2009 akan mengukuhkan tonggak dan melembagakan proses bangsa Indonesia mewujudkan kedaulatan rakyat.

Megawati ke Mimika Besok

Megawati ke Mimika Besok


KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Megawati Soekarnoputri


TIMIKIA, SENIN -
Ketua Umum DPP PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnoputri akan melakukan Provinsi Papua Rabu (7/1). Kepastian kunjungan Megawati ke Timika disampaikan Sekretaris DPD PDIP Kabupaten Mimika, Amandus Narwadan di Timika, Selasa.

Menurut Amandus, kunjungan Megawati ke Timika itu adalah dalam rangka melakukan tatap muka sekaligus menggelar dialog dengan masyarakat Mimika.

"Kedatangan beliau (Megawati-red) ke Timika tidak ada maksud lain, sekadar berdialog dengan para tokoh masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Mimika menyangkut berbagai perkembangan yang terjadi di daerah," jelas Amandus.

Megawati yang akan didampingi sekitar 54 pengurus DPP PDIP itu direncanakan tiba di Timika, Rabu siang dengan menumpang pesawat carteran. Setiba di Timika, putri sulung Bung Karno ini akan melakukan tatap muka dan dialog dengan tokoh masyarakat beserta Pemerintah Kabupaten Mimika bertempat di Gedung Eme Neme Yauware Timika.

Pertemuan tersebut juga direncanakan akan dihadiri oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu dan Ketua DPD PDI-Perjuangan Provinsi Papua, Komarudin Watubun. Pada Kamis (8/1) pagi, rombongan Megawati direncanakan akan meninjau areal tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) di Grassberg Tembagapura. Selanjutnya pada Kamis siang Megawati akan melanjutkan perjalanan ke Ambon dan seterusnya ke Kupang-Nusa Tenggara Timur (NTT).

Warga Setuju Suara Terbanyak

Warga Setuju Suara Terbanyak


KOMPAS/PRIYOMBODO

BANDAR LAMPUNG, SENIN- Sebagian warga Kota Bandarlampung yang menjadi pemilih pada Pemilu 2009 mengaku sepakat dengan pola suara terbanyak, karena pilihan mereka umumnya di nomor urut bawah. "Kami memilih caleg nanti bukan berdasarkan dari partai apa dia, tetapi siapa caleg tersebut," kata Edi S, warga Kedaton, Bandarlampung, Senin (5/1).

Lelaki yang bekerja di bengkel mobil itu mengaku telah muak dengan janji-jani yang diberikan caleg pada Pemilu 2004, sehingga untuk pemilu tahun ini lebih selektif. "Pemilu 2004, ada seorang caleg yang menjanjikan sesuatu, tetapi hingga akan berakhir jabatannya belum direalisasi," kata dia.

Karena itu, lanjutnya, pada pemilu mendatang caleg yang minta dukungan kepada dia dan warga di lingkungannya harus bisa memberikan sesuatu di muka. "Kami membantu dia, dan sebaliknya. Kami perlu sesuatu yang bisa digunakan bersama-sama sekarang. Sebab, kalau nanti setelah jadi, caleg tersebut bukannya lupa, tapi gak punya waktu lagi," kata dia sambil berkelakar.

Menyinggung siapa yang bakal didukung, Edi menjelaskan sudah ada dari salah satu partai dengan nomor urut kecil atau di bawah. "Dengan pola suara terbanyak, nampaknya peluang kawan itu bisa lebih terbuka," kata pria lulusan SMT otomotif itu.

Warga lainnya, Khairul mengatakan, memang secara umum ada salah satu partai yang akan didukung, tetapi caleg untuk daerah pemilihannya tidak sesuai dengan hati nuraninya.

"Karena itu, saya lebih memilih caleg dari partai lain yang dikenal, bukan memilih caleg dari partai yang saya dukung tersebut karena tidak tahu darimana asalnya," kata dia.

Salah seorang caleg dari PAN untuk DPRD Provinsi Lampung, Doni Irawan, mengatakan, partainya telah jauh hari menerapkan suara terbanyak, bahkan dengan surat pernyataan di atas meterai.

"Kami sudah lama bersosialisasi hal itu, jadi dengan adanya ketentuan suara terbanyak buat kami tidak kaget lagi," kata dia.