Minggu, 31 Juli 2011

Sleman Menuju Kabupaten Layak Anak


Advokasi dan Sosialisasi Kabupaten Sleman menuju KLA. (Foto : Ardhi Wahdan)
SLEMAN (KRjogja.com) - Kabupaten Sleman saat ini tengah giat untuk menuju Kabupaten Layak Anak (KLA). Ditargetkan, pada 23 Juli mendatang, Sleman akan melanunching KLA.
Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu mengungkapkan, KLA dimaksudkan untuk memenuhi seluruh hak-hak anak yang semakin terabaikan. "Kabupaten Layak Anak itu bukan sekedar untuk mengejar prestasi. Namun, Pemda Sleman ingin benar-benar bisa memenuhi seluruh kebutuhan maupun hak-hak atas anak," ungkapnya dalam advokasi dan sosialisasi KLA di Grha Sarina Vidi, Jalan Magelang, Mlati, Kamis (19/5).
Oleh karena itu, Yuni mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut bertanggung jawab dalam pemenuhan hak anak. Pemerintah, hanya lebih berperan sebagai motor maupun penggerak terhadap KLA. "Orang tua dan masyarakat yang paling bersentuhan langsung dengan anak. Sehingga, mereka lebih berperan," imbuhnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Tumbuh Lingkungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Wahyu Hartono menambahkan, Kabupaten Sleman sebenarnya sudah memiliki berbagai program yang berkaitan dengan anak. Hanya saja, program-program tersebut masih tersebar di beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
"Makanya, kami berupaya untuk menyentralkan seluruh program tersebut dengan membentuk Forum Anak. Saya sudah bertemu dengan Bupati Sleman, dan Forum Anak ini disambut dengan bagus serta akan segera ditindaklanjuti," imbuhnya.
Menanggapi hal ini, DPRD Sleman menilai, eksekutif masih belum serius untuk menjadikan Sleman sebagai KLA. Pasalnya, hingga saat ini masih belum ada aturan hukum kuat yang mengatur KLA di Sleman.
"Kalau mau serius ya harus dibuatkan Perda nya. Kalau hanya Perbup maupun SK, maka itu sama saja. Tidak kuat," ungkap Ketua DPRD Sleman, Koeswanto. (Dhi)

Banyak Anak Cangkringan yang Kehilangan Akta Kelahiran, Akibat Erupsi Merapi

SLEMAN- Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu menyatakan anak-anak korban bencana letusan Merapi di kawasan Cangkringan banyak kehilangan akta kelahiran. Padahal dokumen ini penting untuk berbagai keperluan anak di masa depan.

”Kira-kira sebelum bencana Merapi sudah 50 persen anak-anak di Sleman mempunyai akta kelahiran. Tetapi semenjak bencana kemarin jumlahnya dipastikan menurun, karena anak-anak di Cangkringan banyak yang kehilangan akta kelahiran,” demikian dikatakan Yuni saat Sosialisasi Kabupaten Layak Anak pada 150 perempuan anggota Persit Kartika Candra Kirana (Persit KCK) dan PNS di Kodim 0732 Sleman, Jumat (29/7).

Yuni belum bisa mengemukakan secara rinci berapa anak yang kehilangan akta kelahiran. Namun ia menambahkan bahwa pihaknya sudah menindaklanjuti melalui dinas terkait untuk melakukan jemput bola, kepada korban Merapi tersebut. ”Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kami minta untuk turun langsung jemput bola supaya lebih cepat. Akta ini kan penting bagi anak untuk untuk sekolah, paspor, sampai mencari kerja,” tutur Yuni yang dalam kesempatan itu didampingi Ketua Persit KCK 0732 Sleman, Monika Dyah Permata Pinandojo, dan Kasdim Mayor Arm Wasono.

Layak Anak

Menurut Yuni, program kepemilikan akta kelahiran ini adalah salah satu upaya Sleman menyiapkan diri untuk menjadi kabupaten layak anak. Disinggung tentang target kepemilikan akta kelahiran pada masa jabatannya, Yuni menyatakan akan berusaha seoptimal mungkin. ”Kalau bisa sampai 100 persen. Pada 2015 mendatang semua anak harus sudah memiliki akta kelahiran,” tuturnya.

Terkait dengan persiapan kabupaten layak anak, Yuni menyatakan bahwa Pemkab Sleman telah mengalokasikan 40 persen dari total APBD Sleman 2011 yang mencapai Rp 700 miliar.  (H50-84)  

Minggu, 17 Juli 2011

Waspadai Gelaja Autis Pada Anak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jika Anda mempunyai anak yang berusia setahun tapi masih banyak diam, bengong dan tidak merespon,  Anda wajib waspada. Sebab itu menjadi salah satu tanda-tanda anak Anda menderita autis.

"Jadi kita bisa mengetahui anak kita autis atau tidak sejak setahun," ungkap pakar gizi Attila Dewanti dalam temu media Alergi Susu Sapi di Jakarta, Rabu (27/4/2011).

Ia pun membeberkan, untuk memastikan ada gangguan misalnya diajak bermain Ciluba. Jika si anak merespon dengan tertawa maka tidak ada masalah.

"Kalau diam dan enggan tatap mata kita  berarti memang  ada masalah. Untuk itulah sejak lahir hingga tiga tahun perlu dilakukan stimulasi," ungkapny

Autis Bakal Jadi Bom Waktu


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Autism Care Indonesia (ACI) Adib Setiawan mengkhawatirkan jumlah anak autis di Indonesia akan menjadi bom waktu bila tidak ditangani serius.
"Memang sampai saat ini, anak-anak autis ini cukup banyak, bahkan satu banding seratus. Beberapa kasus terjadi pada anak usia 3 tahun. Ini bisa menjadi bom waktu," ungkap Adib, saat acara ACI di Lapangan Monas, Jakarta, Minggu (17/7/2011).
Untuk mengatasi hal tersebut, Adib menyatakan ACI akan selalu mengadakan kegiatan atau kampanye. ACI sendiri menangani anak berkebutuhan khusus (ABK) utamanya anak autis dari warga kurang mampu, dan untuk penanganan terapinya gratis.
"Tentunya kalau terapinya gratis, biayanya dari masyarakat. Oleh karena itu kita mengadakan kegiatan-kegiatan sehingga masyarakat tergugah untuk membantu anak-anak autis dari keluarga kurang mampu," urainya.
Dengan bantuan dana dari masyarakat, biasanya ACI membentuk klinik-klinik tumbuh kembang, menyebar pamlet ke puskesmas, RT/RW, dan kelurahan sehingga keluarga yang memiliki anak autis datang dan mendaftarkan diri.
"Sekarang misalnya kami punya di Pondok Pinang, Jakarta selatan, kemudian di Condet, Lampung, dan Tasikmalaya. Di situ nanti akan dideteksi oleh psikolog kita, dan baru ketahuan ternyata banyak sekali yang terkena autis," jelasnya.
Sejak berdiri dua tahun lalu, lanjut Adib, ACI telah menangani sekitar 63 anak autis, bahkan meluluskan 13 anak.
"Yang dimaksud lulus adalah dia sudah bisa masuk sekolah. Jadi anak-anak itu kita latih dan terapi nanti, dengan harapan bisa sekolah. Karena lulusnya ini tergantung dari tingkat gangguannya juga, jadi beberapa juga perlu bimbingan. Tapi memang yang jauh lebih penting adalah penanganan anak autis ini adalah intervensi dini, yang harus langsung ditangani. Selanjutnya kalau ditangani dengan baik mereka juga bisa sekolah," jelasnya.
Bagaimana tingkat kemandirian dari 63 anak ini? "Kalau tingkat terparah, pernah terjadi anak autis usia anak 8 tahun terjadi konflik dengan tetangga sehingga sampai anak autis ini digebukin oleh tetangganya. Karena ini tidak ada yang dilakukan menangani anak autis bagi keluarga kurang mampu. Dan usia 8 tahun ini bisa dikatakan sudah terlambat, makanya kita menjaring usia dini," jelasnya.
Dia memaparkan, biasanya yang mendaftar adalah anak-anak berusia 10 tahun. Anak seusia ini langsung ditangani. Dan yang terpenting, adalah meningkatkan keberfungsian semua fungsi dan sistem motorik. "Misalnya, tangannya kurang bisa gerak. Ditangani bagaimana caranya agar dia bisa makan sendiri dan sebagainya. Dan sampai ke titik dia bisa membaca dan berhitung dan seterusnya," ujarnya.(*)