Senin, 01 Desember 2008

Parpol Pragmatis untuk Generasi Apolitis

Parpol Pragmatis untuk Generasi Apolitis

Litbang Kompas/Pandu

KEPENTINGAN pragmatis partai politik untuk meraup suara dalam waktu singkat memunculkan beragam upaya untuk merebut simpati generasi muda yang tidak peduli kepada politik.

Meilan Saidui (20), mahasiswi semester pertama Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Manokwari, Papua Barat, asyik menonton sinetron Kawin Massal. Walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00, tak henti-hentinya dia bercerita tentang idolanya, Agnes Monica, yang cantik, jago akting, dan merdu suaranya.

Jangan tanya Meilan tentang tokoh politik atau pemerintah. Alisnya langsung mengkerut dan bibirnya tertutup rapat.

Di Palu, Faradilah (19), mahasiswa semester V STMIK Bina Mulia banyak mengisi waktunya dengan nonton sinetron dan infotainment. Acara berita, jarang ditonton. Demikian juga Mad Fadhol (17) dan Isti Wijayanti, keduanya siswa SMA Negeri 1 Samarinda yang sukanya menonton siaran olahraga dan reality show.

Kalangan mahasiswa, Nuzula dari Universitas Negeri Jakarta dan Hety Apriliastuti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga mengakui lebih banyak tertarik pada hiburan dan infotainment daripada memerhatikan berita politik. ”Di jalan-jalan sih belakangan ini banyak tempelan poster wajah caleg, tapi enggak kepikiran,” kata Hety.

Kalau sudah begitu, rasanya tidak aneh ketika Nuzula mengaku tidak tahu kapan pemilu akan dilaksanakan. Kalau tanggalnya saja tidak tahu, bagaimana dengan profil calon legislatif maupun program partai?

”Jangankan memahami caleg, siapa atau bagaimana, partai yang mengusungnya pun saya hanya tahu satu atau dua,” tukas Nurhayati (20), mahasiswi Umitra, Bandar Lampung.

Tak kenal caleg

Lewat jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 221 orang berusia 17-21 tahun yang didefinisikan sebagai pemilih pemula atau memilih untuk pertama kalinya, hanya 2,3 persen yang mengakui tahu banyak tentang program partai politik.

”Tidak ada caleg yang saya kenal, malah saya tidak ingat nama menteri dan dari partai mana dia berasal,” kata Anto (21), warga Kota Makassar yang berprofesi sebagai tukang parkir dengan pendapatan Rp 60.000 per hari.

Walaupun demikian, 80,5 persen menyatakan akan ikut dalam pemilu, baik legislatif maupun presiden. Keinginan untuk ikut memilih ini disambut positif oleh Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay.

Menurut dia, walau 67,4 persen motivasi mereka hanya untuk menunaikan hak dan sebagian menyebutnya kewajiban, ini adalah hal positif yang bisa menjadi dasar pemikiran bahwa pemilu adalah hal penting.

Gancar Tri Wicaksono (18), atlet biliar dari Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto mengaku antusias untuk ikut Pemilu 2009. Ia sangat berharap lewat pemilu nanti akan terpilih anggota legislatif yang membawa perubahan di bidang ekonomi sehingga harga BBM dan makanan tidak naik terus. ”Lewat kawan-kawan dan isu yang berkembang bisa ketahuan mana yang baik,” katanya.

Para pemilih pemula ini rupanya memandang kejujuran sebagai kriteria utama mereka memilih anggota legislatif atau presiden. Pengalaman kepemimpinan juga dianggap perlu, tanpa memedulikan usia ataupun program.

Melihat potensi pemilih pemula yang menggiurkan—jumlahnya mencapai sekitar 36 juta orang atau 19 persen dari pemilih total—mayoritas partai politik menyusun strategi untuk merebut suara mereka.

Strategi parpol

Mengakui kesulitan untuk menembus dinding ketidakpedulian para pemilih muda ini, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengambil langkah pembentukan citra. Mereka mengadakan acara-acara yang sepertinya cocok dengan selera anak muda.

Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar bercerita bagaimana anak-anak dari anggota Partai Golkar, misalnya, yang tergabung di G23 mengadakan pertandingan futsal dan band indie. Diharapkan, lewat acara ini terjadi pertemanan yang kemudian membuat anak-anak muda tertarik memilih Golkar. ”Anak-anak muda ini tidak sampai berpikir apakah kepentingan mereka diakomodasi Golkar, yang penting image,” kata Rully.

Hal serupa dilakukan PDI-P, yang 11 Januari 2008 mendeklarasikan Taruna Merah Putih. Menurut ketuanya, Maruarar Sirait, pihaknya mengadakan kegiatan seperti bimbingan belajar, pelatihan komputer. Melalui kegiatan tersebut PDI-P ingin membangun citra. Soal pendidikan politik, itu dilakukan sambil jalan.

Sementara Partai Keadilan Sejahtera berupaya memupus citra sebagai partai eksklusif dengan organisasi bernama Gema Keadilan (GK). GK dibuat untuk meraih pemilih pemula dan anak muda. Menurut ketuanya, Rama Pratama, penjaringan diambil dari simpul-simpul massa dari komunitas yang sudah ada, seperti Jakmania, suporter Persija.

Mereka juga berusaha membuka diri terhadap komunitas yang selama ini tidak tersentuh, seperti preman serta komunitas musik Slank dan Iwan Fals. ”Kalau soal pendidikan politik, yah proseslah,” katanya.

Bentuk bimbingan tes dan olahraga dilakukan Partai Demokrat untuk meraih simpati pemilih pemula. Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menargetkan kedekatan psikologis lewat kegiatan sporadis.

Terkait itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo, mengomentari, upaya yang dilakukan parpol-parpol itu bukanlah pendidikan politik, bahkan bisa dikatakan memanipulasi. ”Mereka hanya berusaha mengubah paradigma bahwa politik itu adalah kursi dan rezeki, tetapi tidak sampai pada politik adalah proses pengambilan keputusan publik. (EDN/MDN/MHD/REN/ ICH/ROW/HLN/BRO)

1 komentar:

  1. namanya aja politik mbak...yang ada hanya kepentingan sesaat..ntar habis musim pemilu lihat aja..tapi mbak di PDIP ya..???

    BalasHapus