Minggu, 14 Desember 2008

Jika Terpilih, Mega Tak Ingin Cawapresnya Incar Capres

[ Sabtu, 13 Desember 2008 ]
Jika Terpilih, Mega Tak Ingin Cawapresnya Incar Capres
Peluncuran Buku Dihadiri Sejumlah Calon Presiden

JAKARTA - Megawati Soekarnoputri, capres dari PDIP, tampaknya sadar betul dengan risiko negatif bila cawapresnya nanti menyimpan obsesi besar untuk menjadi presiden. Bukan tidak mungkin akan terjadi persaingan merebut simpati yang bisa kontraproduktif bagi jalannya pemerintahan sekiranya jika dia benar-benar terpilih dalam Pilpres 2009.

Karena itu, selain memiliki komitmen terhadap NKRI, Pancasila, dan pluralisme serta mampu menambah potensi suara, Mega berharap cawapresnya bukan orang yang nanti justru menjadi rival di pemerintahan.

"Awas lho, aku emoh wapresku mikir de'e presiden (Awas, saya tidak mau Wapres saya nanti mikir dia yang presiden, Red)," kata Mega dalam launching buku Mereka Bicara Mega di Hotel Sultan, Jakarta, kemarin (12/12).

Dengan nada bercanda, dia menyentil, banyaknya tokoh yang pernah dikandidatkan menjadi cawapresnya belakangan malah mendeklarasikan diri sebagai capres. "Kok nggak ada yang deklarasi jadi cawapres ya? Pram (Sekjen PDIP Pramono Anung, Red) sampai bingung mau duluan umumkan kriteria atau nama. Saya jawab, lho kamu kan yang Sekjen," cetus Mega lantas tertawa.

Acara yang berlangsung meriah mulai pukul 14.30 WIB itu memang dihadiri sejumlah tokoh yang sudah mendeklarasikan diri sebagai capres. Ada Sri Sultan HB X, Fadel Muhammad, Rizal Ramli, dan capres independen Fadjroel Rahman. Hadir juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDIP Taufik Kiemas dan Pramono.

Dari kalangan politisi, pengamat, dan aktivis, hadir Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi, Yudi Latief, Sukardi Rinakit, Garin Nugroho, Ikrar Nusa Bakti, dan Effendy Gozali.

Adapun buku Mereka Bicara Mega merupakan kumpulan artikel dari 38 tokoh nasional dengan beragam latar belakang. Sesuai dengan judul buku itu, mereka membuat penilaian terhadap sosok putri proklamator Bung Karno tersebut.

Tidak main-main, tokoh sekaliber Ahmad Syafii Ma'arif, Akbar Tandjung, Amien Rais, Prabowo Subianto, Salahuddin Wahid, Jalaludin Rahmat, Khofifah Indar Parawansa, Alwi Shihab, Rokhmin Dahuri, Ahmad Sumargono, dan Malik Fadjar ikut berkonstribusi. Malah, Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin yang diberi porsi memberikan kata pengantar tak kuasa menahan diri untuk tidak ikut berkomentar.

"Itu bagian dari kejutan yang diberikan teman-teman, mungkin karena jengkel. Soalnya, saya memang paling malas diminta untuk menceritakan diri sendiri," ungkap Mega.

Sementara itu, Pramono menyatakan, banyak hal menarik yang terungkap dalam buku tersebut. Misalnya, kisah Akbar dengan Mega sewaktu keduanya masih remaja. "Ternyata, saat SMP, Pak Akbar sering menjemput Ibu Mega untuk les bahasa Inggris," ujarnya yang langsung disambut tawa hadirin.

Dalam tulisannya, Akbar memang menceritakan bahwa dirinya dan Mega duduk di SMP yang sama, yaitu SMP Cikini, Jakarta Pusat. Meskipun Mega berstatus anak presiden yang terikat protokoler, ungkap dia, mereka tetap menjaga jalinan komunikasi. Misalnya, Akbar hadir di acara ulang tahun Mega meskipun tidak diundang.

Pada 1970-an, selepas SMP, mereka sama-sama mengambil kursus bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (LIA). "Bahkan, saya pernah mengantarnya pulang setelah kursus. Artinya, kami telah menjalin hubungan silaturahmi sejak masih muda," curhat Akbar dalam tulisannya.

Dalam sambutan itu, Sri Sultan HB X menuturkan sejak kecil mengenal Mega. Malah, di antara kedua orang tua, sudah tumbuh komitmen dan cita-cita yang sama untuk memerdekakan republik dan mempertahankan kemerdekaan. "Tugas kami tentunya menjaga nama baik orang tua masing-masing," ucapnya.

Fadel menjelaskan, selama menjadi presiden, Mega tiga kali mengunjungi Gorontalo. Dalam kunjungan itu, papar dia, Mega selalu mendorong dirinya untuk mengembangkan potensi daerah seoptimalnya.

"Saya sendiri meyakini, kalau daerah maju, negara pasti kuat. Sekarang ini, semua masih tersentralisasi di pusat. Sepertinya, negara ini cuma Jakarta. Sementara itu, anggaran daerah kecil. Makanya, pembangunan daerah tersendat-sendat," ujarnya.

Kepada wartawan yang bertanya soal peluang mendampingi Mega sebagai cawapres, Fadel menjawab dengan sangat diplomatis. "Saya berpikir sederhana saja. Saya punya kelemahan, yaitu masih menjadi gubernur dan ketua DPD Partai Golkar di Gorontalo," terangnya.

Mengapa menjadi ketua DPD Partai Golkar di Gorontalo menjadi persoalan? "Politik itu sangat sensisitf. Makanya, jangan sampai salah main. Nanti bisa terjebak. Bagaimanapun, hasil pemilu pasti berpengaruh," tegasnya. Masih berharap bisa melalui jalur Golkar? "Golkar kini ibaratnya lagi macet. Mobil di belakang tit...tit...tit, tapi yang depan nggak mau jalan," candanya.

Taufik juga menolak berkomentar banyak, apakah yang ideal duet Mega-Sultan atau Mega-Fadel. Menurut dia, pendekatan Jawa-luar Jawa sudah tidak relevan. "Keduanya sama-sama mewakili bangsa Indonesia," ungkapnya. Mengapa kandidat capres lain tidak diundang? "Oh, Prabowo dan Hidayat diundang, cuma berhalangan," imbuhnya. (pri/tof)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar