Rabu, 29 Oktober 2008

Caleg Aktivis dan Pragmatisme Politik

Sabtu, 11 Oktober 2008 | 11:30 WIB

Caleg Aktivis dan Pragmatisme Politik

Oleh Bambang Isti Nugroho

Menjelang Pemilu 2009 terjadi perubahan pola pikir dan strategi sebagian kaum aktivis negeri ini. Sebelumnya, mereka lebih memilih posisi di luar mekanisme sistem politik kekuasaan, dengan memberikan tekanan terhadap pemerintah. Kini, mereka pun mulai melirik kursi wakil rakyat, baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi, semudah itukah?

Dalam kosmologi Jawa, kekuasaan diibaratkan macan: buas, ganas, dan selalu siap menerkam korban. Namun, macan selalu menarik dan menggairahkan karena ia menjanjikan kamulyaning urip dan panguripan bebrayan (hidup mulia dan sejahtera) kepada para pemburunya.

Pemilu 2009 bisa kita sebut sebagai pesta geger wong ngoyak macan (gegap gempita orang berburu macan), sebuah istilah yang saya pinjam dari judul lakon Teater Dinasti Yogyakarta yang digelar sekitar tahun 1980. Persoalannya, apakah para aktivis tersebut nanti jika lolos menjadi caleg siap bertarung dalam geger wong ngoyak macan? Atau jangan-jangan, mereka hanyalah akan menambah jumlah para petualang dan pemburu kekuasaan di negeri ini?

Itulah pertanyaan yang rada mencemaskan dalam episode seru ini, tetapi sebaiknya kita simpan dulu di laci ingatan. Marilah kita berpikir positif dalam membaca motivasi mereka menjadi calon legislatif (caleg). Yakni, mereka ingin melakukan perubahan politik- kekuasaan di Indonesia. Siapa saja mereka? Sebut saja, antara lain Dita Indah Sari, tokoh penggerak buruh (caleg PBR); Puis Lustrilanang, korban penculikan di era Soeharto (caleg Gerindra, partainya Prabowo Subiyanto); Budiman Sujatmiko, mantan tokoh PRD dan korban Kasus 27 Juli (caleg PDI-P), dan tokoh aktivis gerakan di Yogya Mohammad Yamin (caleg PDI-P). Mereka akan bertarung di tingkat DPR.

Para aktivis dari Yogyakarta pun tak ketinggalan untuk menjadi caleg di tingkat DPRD, misalnya, Aji Kusuma (caleg PDK), Yuni Satya Rahayu (PDI-P), Supriyanto (PDI-P), M Afrizal Rais (PDK).

Mati suri

Para aktivis lahir dari rahim dinamika sosial-politik. Mereka umumnya orang muda, mahasiswa atau mantan mahasiswa, dan menggunakan kegiatan politik-pada mulanya-bukan demi kekuasaan, melainkan lebih pada gerakan moral. Citra yang terbangun dalam sosok aktivis adalah idealis, kritis, punya komitmen atas nilai-nilai kemanusiaan dan kerakyatan, berani menanggung risiko perjuangan, tidak memiliki kepentingan pribadi, bersih, jujur, dan bercita-cita melakukan perubahan.

Para aktivis (gerakan mahasiswa) telah membuktikan dirinya dalam penumbangan rezim Orde Baru Soeharto (reformasi 1998). Namun, setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun, hasilnya sangat mengecewakan. Rezim demi rezim berganti-ganti, tetapi nasib rakyat tetap saja terpuruk. Reformasi yang digadang-gadang melahirkan perubahan sosial-politik, ekonomi, dan budaya terbukti "mati suri".

"Kesalahan sejarah" kaum aktivis waktu itu adalah menyerahkan kekuasaan kepada para elite politik yang kurang memiliki keberanian melakukan perubahan secara mendasar. Reformasi akhirnya hanya menjadi casing, sedangkan software-nya tetap saja sama: politik pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan, hal itu diperparah dengan liberalisasi ekonomi, di mana sosok negara Indonesia makin kabur, sedangkan pasar bebas semakin menguat.

Akhirnya, para penyelenggara negara nyaris tidak berbeda dengan "panitia pasar bebas" yang mementingkan modal

asing. Hasilnya biaya hidup sangat tinggi dan mahal: rakyat antre minyak dan sembako, rakyat kurang gizi, rakyat tidak menikmati pendidikan, kesehatan, perumahan secara maksimal, pengangguran menggelembung, dan jumlah orang miskin terus bertambah.

Faktor lain yang membuat reformasi "mati suri" adalah ketidaksiapan para aktivis mengelola kekuasaan. Sebagian besar aktivis masih berpikir bahwa posisi, peran, dan fungsi aktivis adalah sebagai pengontrol kekuasaan. Ternyata hal ini tidak cukup. Pragmatisme politik

Jika para aktivis lolos menjadi caleg, berbagai persoalan besar di atas otomatis teratasi? Tentu, kita tidak bisa berharap 100 persen para aktivis yang masuk parlemen mampu mengatasi persoalan besar. Parlemen berisi ratusan kepala dengan 1.001 kepentingan. Keberadaan aktivis di sana tak lebih dari noktah di tengah lautan kepentingan yang tidak semuanya berpihak kepada rakyat.

Persoalan yang sangat sulit diatasi dalam perjuangan di parlemen, antara lain adalah pragmatisme politik. Terminologi ini mengisyaratkan sebuah pengertian bahwa politik telah direduksi menjadi kegiatan praktis untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek. Politik telah dibedol dari ranah idealisme, di mana seharusnya politik mengemban amanat memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat.

Ketika idealisme dan ideologi menguap, maka politik tidak ubahnya dengan mesin kekuasaan yang hanya menjadi alat dari faktor yang mendominasi, yang untuk sekarang adalah ekonomi. Maka, uang menjadi nilai tukar paling signifikan dan determinan dalam politik. Kenyataan ini kini semakin menguat: caleg tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan dirinya, melainkan juga harus punya pundi- pundi fulus tebal. Begitu juga dengan produk-produk legislasi lainnya yang juga didikte dengan kekuatan uang. Kesimpulan pun muncul: negara ini sedang disandera kelompok pemodal yang sangat bersemangat dalam melakukan berbagai kapitalisasi di segala hal.

Wajah rakyat? Semakin kabur. Suara rakyat? Semakin sayup. Maka, dengan (akan) masuknya para aktivis di parlemen, sesungguhnya rakyat belum bisa berharap banyak. Mereka harus membuktikan kemampuannya untuk diuji dalam lembaga "karatan" yang bernama parlemen. Diuji juga oleh kebuasan dan keganasan sang macan kekuasaan yang dikendalikan kapitalisme global.

Atau minimal mereka mampu menjadi semacam "gangguan" agar para penghuni parlemen tidak terlampau asyik dengan kepentingan sendiri yang terbukti punya andil menambah dosis penderitaan rakyat. Kita masih percaya, para aktivis itu punya tiga "kesaktian": integritas, komitmen, dan kemampuan untuk menjadikan DPR/DPRD bukan sebagai lembaga perniagaan politik, melainkan menjadi pembela kepentingan publik.

Bambang Isti Nugroho Mantan Aktivis, Pendiri Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta, dan Kini Memimpin Komunitas Politik Guntur 49 Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar