Selasa, 10 Agustus 2021

Perempuan dan Pandemi Covid-19 Woman and Covid-19 Pandemic


Catatan Jurnal Perempuan Jurnal Perempuan, Vol. 25 No. 4, November 20

Ketimpangan gender di dalam masyarakat dinilai turut memperburuk dampak Pandemi Covid-19 terhadap perempuan. Rapid Gender Assessment (RGA) oleh UN Women di Eropa dan Sentral Asia menemukan lebih dari 15 persen perempuan kehilangan pekerjaan, 41 persen perempuan mengalami pengurangan upah, dan menemukan terjadinya peningkatan jam dan beban kerja perempuan di dalam keluarga, selama pandemi Covid-19. Tak hanya dampak ekonomi dan sosial, pandemi Covid-19 juga menyebabkan meningkatnya kerentanan perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Shadow pandemic adalah konsep yang menjelaskan fenomena meningkatnya kekerasan terhadap perempuan selama pandemi Covid-19.

Keluarga sebagai ‘gendered institution’ merupakan salah satu fokus penting dalam studi-studi feminisme. Feminisme melihat keluarga di dalam masyarakat yang patriarkis sebagai wujud dari relasi gender yang timpang, di mana peran gender perempuan dikonstruksi dan ditempatkan secara subordinat. Dalam struktur masyarakat yang patriarkis, perempuan dilekatkan dengan peran produksi afektif-seksual (sex-affective production), yang bertugas memberikan pengasuhan emosional bagi anak dan laki-laki, serta kepuasan seksual bagi laki-laki. Sementara itu, kerja-kerja di dalam keluarga, seperti kerja pengasuhan (carework) atau kerja rumah tangga (housework), cenderung dianggap memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah, dan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. 

Sejak bulan Maret 2020, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan status pandemi Covid-19. Salah satu kebijakan untuk mencegah meluasnya pandemi adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB merupakan kebijakan pembatasan jarak sosial (social distancing) yang mewajibkan pembatasan kegiatan di ruang publik seperti di kantor, pabrik, tempat hiburan, tempat ibadah, restoran, sekolah, pasar, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Pembatasan jarak sosial ini telah mengakibatkan kontraksi terhadap kegiatan perekonomian di Indonesia. Maka pandemi Covid-19 kemudian dibayangi oleh ancaman PHK terhadap pekerja, serta hilangnya lapangan pekerjaan di berbagai jenis wira usaha dan/ atau sektor informal. Dampak ekonomi dari pandemi tidak hanya terjadi pada ekonomi makro tetapi juga terhadap perekonomian rumah tangga.

Analisis atas relasi gender yang timpang di dalam keluarga penting untuk memahami dampak pandemi Covid-19 terhadap perempuan. Penerapan pembatasan jarak sosial menyebabkan sebagian besar kegiatan di ruang publik harus dilakukan dari rumah. Sehingga di masa pandemi kita melihat munculnya berbagai bentuk kegiatan seperti: bekerja dari rumah (work from home), bersekolah jarak jauh, beribadah jarak jauh, termasuk berbelanja daring (online shopping). Terpusatnya berbagai kegiatan ke dalam rumah menyebabkan tanggung jawab perempuan di dalam rumah tangga semakin besar. Di masa pandemi, misalnya, seorang ibu yang bekerja (working mother) harus dapat mengatur beban dan waktu kerja antara bekerja dari rumah dengan mendampingi anak bersekolah daring. Di masa pandemi, seorang ibu rumah tangga juga harus memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan dan biaya listrik yang naik, ketika pendapatan keluarga menurun.   

Feminisme interseksional (intersectional feminism) merupakan sebuah konsep feminisme yang penting untuk melihat perbedaan situasi yang dihadapi oleh perempuan dan kelompok marginal di masa pandemi Covid-19. Secara umum beban rumah tangga yang membesar di masa pandemi tentu berdampak terhadap perempuan. Namun perempuan bukanlah entitas yang homogen. Di masa pandemi Covid-19, pekerja rumah tangga (PRT) - yang umumnya dilakukan oleh perempuan, merupakan salah satu profesi yang rentan mengalami eksploitasi. Meski beban kerja PRT di masa pandemi semakin besar, namun pada umumnya PRT tidak mendapatkan tambahan upah. Sebaliknya, selama pandemi PRT justru menjadi rentan terhadap PHK dan stigma sebagai penyebar virus Corona. PRT migran menghadapi kerentanan yang relatif sama dengan PRT di dalam negeri, selain juga rentan untuk dipulangkan kembali ke dalam negeri. 

Feminisme interseksional juga dapat mengungkapkan marginalisasi berlapis yang dialami oleh kelompok marginal, seperti LGBT atau transgender. Karena identitas gendernya, kaum transgender memiliki akses terbatas untuk memperoleh pekerjaan di berbagai bidang. Selama penerapan PSBB, jenis pekerjaan yang banyak digeluti oleh kaum transgender, seperti salon kecantikan, pengamen, restoran, merupakan jenis pekerjaan yang banyak ditutup atau dibatasi. Di beberapa kasus, kaum transgender juga menghadapi hambatan akses terhadap bantuan sosial karena tidak memiliki kartu penduduk. Sementara itu, akibat identitas gendernya, keluarga yang pada umumnya menjadi tumpuan perlindungan di masa pandemi, justru menjadi tempat yang rentan terjadi kekerasan terhadap kelompok transgender. Relasi sosial, ekonomi, dan politik yang timpang, membawa dampak pandemi yang lebih buruk terhadap kelompok yang mengalami ketimpangan berlapis. Kerentanan berlapis inilah yang dialami misalnya oleh kelompok transgender, perempuan dengan disabilitas, pekerja rumah tangga (PRT), perempuan nelayan, pekerja migran, dan lainnya, di masa pandemi Covid-19.

Meski berada dalam posisi subordinat, perempuan tetap memiliki agensi untuk bertahan di masa pandemi, bahkan untuk memberikan dukungan bagi komunitasnya. Perempuan Sumba, misalnya, mengembangkan inisiatif edukasi, pemberian informasi, dan komunikasi mengenai Covid-19, bagi komunitasnya. Agensi perempuan lainnya juga dapat dilihat dari kerelawanan yang dilakukan oleh Solidaritas Pangan Jogja (SPJ). SPJ berhasil mentransformasi pandangan yang bias terhadap kerja perawatan, seperti memasak di dapur, menjadi gerakan solidaritas dapur umum bagi komunitas marginal di masa pandemi Covid-19. 

Dalam ruang sosial yang terbatas di masa pandemi Covid-19, perempuan mampu mendorong aksi kolektif, tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga menciptakan ruang bagi kepentingan publik. Pengalaman organisasi perempuan seperti Rahima dan ‘Aisyiyah, memperlihatkan gerak kolektif perempuan untuk mendampingi komunitas melalui gerakan solidaritas bantuan dan pendidikan. Sementara itu, KAPAL Perempuan berusaha mengembangkan inisiatif solidaritas sambil tetap memerhatikan kekerasan berbasis gender yang tetap terjadi di masa pandemi, seperti perkawinan anak. Selain mengatasi tekanan ‘gendered space’ yang diakibatkan oleh pandemi, kaum perempuan juga mempertahankan politik kewargaan di ruang publik. Maka, meskipun ruang publik di masa pandemi Covid-19 semakin menyempit, namun para aktivis perempuan tetap turut mengawal politik kewargaan, seperti mendorong pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, mendorong pembahasan RUU Pekerja Rumah Tangga, serta terlibat dalam gerakan untuk mengkritik terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Oleh sebab itu, penempatan perempuan secara substantif dalam penanganan pandemi Covid-19 diperlukan tidak hanya karena perempuan merupakan salah satu kelompok yang menghadapi kerentanan besar, tetapi juga karena perempuan merupakan tulang punggung dari proses pencegahan dan pemulihan pandemi. Pengalaman agensi kaum perempuan mengajarkan bahwa pandemi Covid-19 tidak dapat diatasi dengan mendomestikasi persoalan-persoalan yang muncul. Di sini kita kembali diingatkan pada satu argumen yang berkembang di masa feminisme gelombang kedua, bahwa pengalaman-pengalaman personal perempuan tidak dapat dilepaskan dari struktur politik yang bekerja di dalam masyarakat. Bahwa “the personal is political”. (Atnike Nova Sigiro)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar