Kamis, 12 Maret 2009

Terbelit Dana, Minim Sosialisasi

Terbelit Dana, Minim Sosialisasi

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Perwakilan Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan kabupaten/kota membahas contoh surat suara DPD Provinsi Jawa Tengah, sebelum rapat kerja antara KPU dan KPU daerah se-Indonesia di Jakarta, Rabu (4/3). Rapat kerja ini untuk membahas segala persiapan menjelang pelaksanaan pemilu pada 9 April.

DIBANDINGKAN dengan daerah lain, wilayah DKI Jakarta memang relatif lebih siap menghadapi Pemilu 2009. Namun, tetap saja banyak hal yang perlu dipersiapkan dan diantisipasi oleh KPU, Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta, termasuk pemerintah setempat, agar Pemilu 2009 ini berjalan lancar.

Kesiapan para calon pemilih justru harus mendapat perhatian. Walau berbagai informasi tentang pemilu begitu cepat diakses, hal itu tidak berarti semua warga Jakarta, terutama calon pemilih, mengerti dan tahu persis proses pemilu.

Ambil contoh saja, soal memberi tanda pada kertas suara. Hingga kini masih banyak warga yang belum tahu, bahkan tidak bisa membedakan antara coblos dan contreng. Kata contreng pun masih terasa asing di telinga calon pemilih. ”Contreng itu kayak apa ya?” ujar Suradi, seorang tukang ojek di daerah Slipi, yang balik bertanya saat ditanyai soal contreng.

Minimnya sosialisasi pemilu diakui KPU DKI. Anggaran yang terbatas! Itulah persoalannya. KPU DKI dan kota-kota di Jakarta hanya mendapat Rp 60 juta. Dengan anggaran sebesar itu, KPU hanya bisa melakukan sosialisasi dengan cara membagikan stiker dan selebaran sederhana di kawasan strategis.

Sosialisasi dalam bentuk tatap muka pernah dilakukan November-Desember 2008. Kini fokus sosialisasi pada iklan di media massa.

Beberapa caleg memang berupaya sebisanya untuk menjelaskan tata cara pemungutan suara kepada masyarakat.

Kesuksesan pemilu juga ditentukan logistik. Di DKI, logistik yang sudah lengkap adalah segel dan tinta sidik jari, sedangkan surat suara baru 40 persen. Untuk tender logistik di tingkat provinsi, baru sebagian yang rampung. Tender bilik dan kotak suara sudah selesai dan petugas tinggal merakitnya. Formulir A3 untuk daftar pemilih tetap (DPT) yang akan didistribusikan ke TPS sedang dicetak, sedangkan formulir C untuk berita acara masih dilelang.

Untuk pelipatan surat suara, KPU kabupaten/kota akan mengerahkan PPK/PPS serta staf sekretariat.

Di Jakarta Timur ditemukansebanyak 300.000 surat suara salah mencantumkan nama partai politik. Saat ini surat suara itu sudah ditarik. Namun, surat suara pengganti belum dikirim.

DKI Jakarta memiliki 220 anggota PPK di 44 kecamatan dan 801 PPS di 267 kelurahan. Adapun petugas KPPS yang akan diangkat 9 Maret mencapai 119.336 orang untuk 17.048 TPS.

KPPS yang menjadi ujung tombak pemungutan dan penghitungan suara malah tidak mempunyai anggaran untuk bimbingan teknis. ”Kalaupun tidak ada bantuan, kami tetap akan adakan bimtek. Mungkin dengan mengumpulkan ketua-ketua KPPS supaya tata cara pemungutan dan penghitungan suara bisa disampaikan ke anggota KPPS lain,” tutur Dahliah.

Minimnya dukungan dana untuk operasional pemilu juga dikeluhkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta. Sejak dilantik Agustus 2008 lalu, Panwas baru dua kali terima honor. Itu pun terlambat.

Ketua Panwaslu DKI Jakarta Ramdansyah mengakui bahwa Panwaslu DKI pertama kali menerima honor pada akhir November 2008. Honor kedua baru diterima sepuluh hari yang lalu.

Hingga kini Panitia Pengawas Lapangan (PPL) sudah terbentuk sampai di tingkat kelurahan. Sekitar 400 lebih anggota PPL telah terjun ke lapangan.

Ramdansyah mengakui, gara-gara keterlambatan honor, personel Panwaslu yang tadinya begitu bersemangat bekerja belakangan mengendor semangatnya. Ada yang ”boikot” bekerja. Awalnya laporan yang masuk cepat, sekarang melambat. ”Bagaimana kami bisa optimal kalau beban pos operasi lebih besar dari pendapatan,” ujarnya.

Secara kelembagaan, Panwaslu memang tidak ada masalah, tetapi dukungan finansial dan birokrasi, khususnya dari Pemprov DKI Jakarta, dinilai masih minim.

Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menyatakan sosialisasi merupakan persoalan yang dihadapi DKI Jakarta. Jika mengandalkan media, Jeirry pesimistis ada warga Jakarta yang hingga hari H nanti tak mengerti. ”Walau akses informasi bagus, di Jakarta banyak orang bingung karena wacana beredar dengan cepat,” katanya.

Untuk pengawasan, tidak mungkin hanya mengandalkan Panwaslu. Dengan keterbatasan Panwaslu, ia tidak yakin pengawasan berjalan optimal. ”Kewenangannya yang tidak penuh, membuat Panwaslu ibarat wasit yang bisa semprit, tetapi tidak bisa memberikan sanksi yang memberi efek jera,” paparnya.

Kini, waktu tinggal sebulan lagi. Siap tidak siap, mau tidak mau, pemilu segera tiba. Berpacu dengan waktu, dan mempersiapkan secara maksimal, serta meminimalkan kelemahan dan kekurangan, itulah yang kini jadi pekerjaan terberat KPU dan Panwaslu. Jakarta, ayo bersiap!

(Nina Susilo/ Sonya Hellen Sinombor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar