UU No 6/2014 tentang Desa merupakan regulasi yang penting dalam upaya
memajukan desa. UU Desa juga merupakan peluang bagi desa untuk menata
ulang desa, memajukan dan memenuhi hak warga desa serta menjamin tata
kelola pemerintahan yang berdaulat, mandiri dan demokratis. Tetapi tidak
hanya sebagai peluang, UU Desa juga memiliki sejumlah tantangan
misalnya soal kesiapan aparatur pemerintahan desa, lembaga-lembaga desa
lainnya, serta warga masyarakat masing-masing desa untuk menjadi subyek
pembangunan, kesiapan pemerintah kabupaten dan kecamatan dalam
menyiapkan seperangkat aturan guna mendukung pelaksanaan UU Desa,
mendampingi dan memfasilitasi desa serta mendorong keterlibatan kelompok
marjinal dan kelompok rentan dalam tata kelola pemerintahan desa.
Demikian disampaikan oleh M. Zainal Anwar, peneliti dan manajer
program governance and policy reform Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yogyakarta dalam workshop bertajuk “Integrasi Program
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Dalam Pelaksanaan UU No 6/2014
tentang Desa” pada 2-5 Desember 2014 di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh CD Bethesda ini diikuti oleh puluhan
desa yang berada di Kecamatan Kodi Bangedo dan Kecamatan Kodi Utara.
M. Zainal Anwar juga mengatakan bahwa jika dipelajari lebih mendalam,
UU Desa mendorong agar desa berdaulat, mandiri dan demokratis. Desa
berdaulat, lanjut Zainal, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan
juga pasal 5 dalam UU Desa yang menegaskan bahwa desa berkedudukan di
wilayah kabupaten/kota. “Pasal 5 ini menegaskan bahwa desa tidak lagi
sub ordinat kabupaten. Ditambah dengan asas rekognisi, maka semua pihak
harus menghormati desa,” terang Zainal.
Sementara konsepsi desa mandiri merupakan penjabaran dari asas
kemandirian. Desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang oleh pasal 18-22 UU Desa
yang menegaskan bahwa desa memiliki kewenangan lokal berskala desa.
“Yang tidak kalah penting adalah bahwa dokumen rencana pembangunan
jangka menengah desa (RPJMDes) menjadi satu-satunya dokumen perencanaan
desa serta adanya hak keuangan dimana negara mengalokasikan sebagian
APBN kepada desa dan sebagaian dana perimbangan yang diterima kabupaten
sebagai alokasi dana desa,” imbuh Zainal.
Adapun desa demokratis berakar pada asas musyawarah, asas demokrasi,
asas partisipasi, dan asas kesetaraan. “Hal paling fundamental adalah
adanya musyawarah desa yang merupakan forum permusyawaratan yang diikuti
oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat
Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa,” kata Zainal.
Dalam sesi diskusi, beberapa kepala desa mengakui jika belum banyak
memahami konsep desa dalam UU Desa. Walaupun sudah pernah mengikuti
acara sosialisasi UU Desa yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah
kabupaten, tetapi masih belum memahami secara detail terkait pembangunan
desa ke depan. “Kami pernah mengikuti acara sosialisasi UU Desa, tetapi
sayangnya tidak ada tindak lanjut yang konkrit pasca kegiatan
sosialisasi UU Desa tersebut,” kata Stefanus Rangga Bola, Kepala desa
Waitaru, Sumba Barat Daya. Stefanus juga menambahkan bahwa kegiatan
sosialisasi tersebut hanya dilaksanakan setengah hari saja, “padahal, UU
Desa memuat banyak hal,” lanjut Stefanus.
Zainal melanjutkan, ada empat strategi implementasi untuk
mengoptimalkan pelaksanaan UU Desa ke depan. “Pertama, memperkuat
pengetahuan warga dan kelembagaan lokal agar bisa mengontrol
pemerintahan desa dari dalam. Kedua, reformulasi hubungan
desa-kecamatan-kabupaten. Kecamatan dan Kabupaten harus memfasilitasi
dan mensupervisi desa terutama melakukan capacity building untuk SKPD
yg mengurusi desa dan menyiapkan regulasi teknis lain. Ketiga,
memperkuat jejaring antar desa/kerjasama antardesa dalam rangka
pembangunan pedesaan. Keempat, pendampingan pemdes dan warga desa oleh
LSM, Perguruan tinggi dan Pemda,” kata Zainal.
Sumber: https://www.ireyogya.org/tehnik-menulis-policy-paper/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar